Jumat, 31 Januari 2014

Fiqh Bolehkah Wanita Berkendaraan dengan Sopir Pribadi?

Tanya:

Bolehkah seorang wanita naik kendaraan pribadi jika sopirnya adalah orang yang menjadi kenalan keluarga atau sopir keluarganya?

Jawab:

Pertama: Mobil khusus, seperti mobil pribadi, hukumnya seperti hukum rumah, karena untuk memasukinya dibutuhkan izin. Karena itu, tidak boleh ada seorang wanita di dalam mobil tersebut bersama sopir pribadinya, kecuali disertai mahram atau suaminya, sebagaimana di dalam rumah.

Kedua: Dalam hal ini tidak ada pengecualian, kecuali apa yang dikecualikan oleh nash boleh dilakukan di dalam rumah; seperti silaturahmi dengan kerabat, baik mahram (seperti paman dari bapak [‘am]) ataupun bukan mahram (seperti dengan saudara sepupu laki-laki/anak laki-laki paman [ibn al-’am])—dengan catatan tidak boleh ber-khalwat. Karena itu, boleh berkunjung kepada kerabat mereka untuk menjalin hubungan kekerabatan (sillaturrahim), pada saat hari raya, misalnya, atau waktu lain. Sebab, memang ada nas-nas umum yang menyatakan tentang sillaturrahim, yaitu kewajiban menjaga hubungan dengan kerabat yang mempunyai hubungan mahram dan sunnah bagi yang tidak ada hubungan mahram; dengan catatan tidak terjadi khalwat.

Ketiga: Dalam kondisi lain, saat ada nas yang membolehkan pertemuan kaum pria dengan wanita di dalam rumah. Terdapat pengecualian lain dalam kaitannya dengan sarana transportasi khusus (kendaraan pribadi), yang statusnya sama seperti rumah, karena membutuhkan izin, dimana seorang wanita boleh naik mobil/kendaraan tersebut bersama sopirnya jika dia mempunyai hubungan kerabat dengannya, atau mempunyai hubungan persahabatan dengan keluarganya; dengan catatan tidak boleh ber-khalwat. Dalilnya adalah hadis penuturan Asma’ ra. Hadis tersebut dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakar ra. yang berkata:

“Aku telah dinikahi oleh Zubair…Aku sedang mengangkut biji-biji kurma dari tanah Zubair yang telah diberi oleh Rasulullah saw. di atas kepalaku. Tanah tersebut jaraknya dariku sekitar 2/3 Farsakh. Suatu ketika aku datang, sementara biji-biji kurma tersebut ada di atas kepalaku, lalu aku pun menemui Rasulullah saw. Ketika itu Baginda bersama sejumlah kaum Anshar. Baginda pun memanggilku. Lalu Baginda berkata, ‘Ikh..ikh…(terhadap untanya),’ agar Baginda bisa memboncengku di belakangnya. Namun, aku merasa malu untuk berjalan bersama-sama kaum pria. Aku pun menceritakannya kepada Zubair.”

1 farsakh sama dengan 3 mil, jadi jaraknya saat itu sekitar 5,5 km. Dari hadis tersebut bisa dipahami, bahwa Rasulullah saw. membolehkan Asma’ untuk naik di belakang beliau, dalam satu kendaraan dengan beliau, yang merupakan kendaraan khusus, bukan transportasi umum. Rasul saw. ketika itu berjalan bersama sejumlah sahabat dalam satu kafilah (rombongan) yang berjalan beriringan. Tampak bahwa perjalanan tersebut jaraknya dekat, bukan perjalanan jauh yang membutuhkan mahram.

Tindakan Nabi saw. yang menghentikan unta beliau agar bisa dinaiki oleh Asma’, karena Asma’ mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau (Asma’ adalah saudara perempuan Aisyah ra., Ummul Mukminin, istri Nabi saw.

Tindakan Baginda menghentikan unta agar bisa dinaiki Asma’ bisa dipahami, bahwa beliau mempunyai hubungan kekerabatan dengan Baginda. Hal yang sama berlaku terhadap wanita yang keluarganya mempunyai hubungan persahabatan dengan pemilik kendaraan atau mobil pribadi tersebut, berdasarkan ayat al-Quran, yang memasukkan sahabat (shadaqah) dan kerabat dalam topik pembahasan makan di rumah, yang notabene merupakan kehidupan khusus. Allah SWT berfirman:

Makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri atau di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian (QS an-Nur [24]: 61).

Ash-Shadiq adalah orang yang mempunyai sifat shadaqah, yaitu lemah lembut dan kasih-sayang.

Jadi, boleh seorang wanita naik kendaraan pribadi dengan ditemani sopir jika wanita tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan sopir tersebut, atau keluarganya mempunyai hubungan persahabatan yang sesungguhnya dengan sopir tersebut, dengan syarat tidak terjadi khalwat; atau antara sopir dan wanita tersebut ada orang lain, baik dari kenalan wanita tersebut maupun kenalan sopir yang bisa dipercaya berada di dekat mereka. Sebab, orang-orang yang bersama Rasulullah saw. pada waktu itu adalah para sahabat.

Jika di dalam mobil tersebut hanya ada satu orang, baik dari kenalan wanita atau sopir tersebut, maka orang tersebut harus mahram wanita itu; kecuali jika di sana lebih dari satu orang kenalan wanita atau sopir tersebut yang bisa dipercaya, maka tidak dibutuhkan mahram. Ini bisa disimpulkan dari sejumlah dalil. Sebab, Rasulullah saw. dalam hadis Asma’ tersebut bersama sejumlah kaum Anshar, atau lebih dari satu orang, sementara tak seorang pun dari mereka yang merupakan mahram Asma’. Namun, dalam hadis yang menyatakan tentang khalwat, karena hanya dengan satu orang, disyaratkan harus bersama mahram, karena Nabi saw. bersabda:

Hendaknya seorang pria tidak berduaan dengan seorang wanita, kecuali bersamanya seorang mahram (HR Muslim).

Karena itu, jika ada kondisi yang membolehkan adanya seorang pria bersama wanita di dalam mobil pribadi, seperti adanya hubungan kekerabatan antara wanita itu dengan sopirnya, atau sopir tersebut sahabat keluarga wanita itu, maka hilangnya status khalwat bagi mereka, jika disertai lebih dari satu orang kenalan sopir atau wanita itu yang bisa dipercaya, atau dengan disertai satu orang mahram-nya. Bepergiannya pun tidak jauh sehingga tidak mengharuskan syarat adanya mahram.

Ini terkait dengan hilangnya status khalwat antara pemilik mobil khusus dan wanita asing tersebut, baik yang mempunyai hubungan kerabat atau sahabat keluarganya, yaitu adanya sejumlah pria di dalam mobil tersebut bersama mereka. Jika hanya ada satu orang pria, yang menjadi teman wanita tersebut, tentu selain sopir, maka pria itu haruslah mahram wanita itu; jika ada lebih dari satu maka harus orang yang menjadi kenalan sopirnya, atau kenalannya yang bisa dipercaya.

Adapun tentang hilangnya status khalwat dengan adanya sejumlah wanita bersama pria dan wanita asing tersebut sebenarnya merupakan pembahasan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fuqaha’ terdahulu. Dalam masalah ini, penanya boleh saja mengikuti mujtahid manapun, dan itu sah. Sekadar diketahui, memang ada fuqaha’ yang membenarkan hilangnya status khalwat bagi pria dan wanita asing cukup dengan ditemani seorang wanita, baik dari mahram pria tersebut, atau istri-istri pria tersebut. Ada juga fuqaha’ lain, yang menyatakan bahwa status khalwat tersebut baru hilang, jika wanita tersebut ditemani wanita lain yang tsiqqah. Imam an-Nawawi, penulis Al-Majmû’, memberikan alasan, “Umumnya, karena tidak ada mafsadat. Sebab, dalam kasus seperti ini, wanita itu biasanya malu, satu sama lain.” Wallâhu a’lam. []

(hizbut-tahrir.or.id)

Tidak ada komentar: