Kamis, 27 Desember 2012

Cerita Panitia dibalik Persiapan Konferensi Perempuan Internasional (KPI) yang diadakan oleh MHTI


Masjid di Hotel Sahid tempat diadakannya acara KPI pada Sabtu 22 Des 2012

Subhanallah, acara Konferensi Perempuan Internasional dari Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia sudah berjalan dengan lancar. Semoga target dan tujuan acara tercapai. Berikut ini sedikit cerita dari ku, sie transportasi KPI. Semoga bisa diambil ibrohnya :-).

H-2 (Kamis, 20 Desember 2012)
Pagi itu seharusnya aku ngajar les Ariq jam 07.00, namun karena agak bimbang juga memikirkan persiapan acara yang tinggal 2 hari sementara aku belum booking bis, belum tau kebutuhan panitia apa-apa saja, bagaimana teknis antar-jemput panitia dan peserta, dan seterusnya.. Bismillah, aku sms bunda Ariq izin tidak ngajar les demi supaya bisa ikut rapat jam 09.00 di bogor.

Subhanallah, rapat yang dipimpin oleh bu rezki berjalan lancar sekali pagi itu, banyak belajar aku pada beliau. Awalnya rapat direncanakan sampai zuhur, namun ada banyak sekali pembahasan, sehingga rapat diperpanjang sampai ashar. Sedikit-banyak mulai tergambar apa-apa saja yang harus aku kerjakan. Begini ceritanya:

Untuk memenuhi kebutuhan transportasi peserta KPI, aku dan tim panitia akomodasi dan penginapan saling berkoordinasi. Pertama yang harus kami lakukan adalah antar-jemput peserta dari luar daerah ke penginapan. Kedua, antar-jemput panitia acara ke penginapan. Alhamdulillah untuk antar-jemput pembicara sudah ditangani oleh ibu-ibu kantor DPP.

Untuk yang pertama, peserta yang konfirmasi waktu kedatangan di Bandara Soekarno-Hatta kami arahkan kedua titik, yaitu Pool Damri Kampung Rambutan dan Pool Damri Gambir. Sebab, ada tiga tempat penginapan yaitu Balai Diklat LAN (Lembaga Administrasi Negara), Hotel Onix, dan Wisma Desa TMII. Dua penginapan yang pertama berlokasi di Jakarta Pusat, lebih dekat ke Pool Damri Gambir dan Hotel Sahid tempat acara KPI diadakan, yaitu daerah sekitar Pejompongan, dekat-dekat Slipi, Benhil (Bendungan Hilir), dan Penjernihan. Sementara lokasi penginapan yang ketiga cenderung lebih jauh, yaitu sekitar Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Aku juga baru tau saat rapat bahwa penginapan TMII jadi dibooking untuk memenuhi kebutuhan acara.

Rekan ku di tim penginapan dan akomodasi telah membagi peserta dari daerah mana saja yang nantinya menginap di LAN, Onix, dan TMII. Untuk memenuhi kebutuhan ini, aku dan tim menyediakan satu mobil avanza di Pool Damri Gambir, dan satu mobil innova di Pool Damri Kampung Rambutan. Mobil beroperasi ba’da jum’atan kalo di Gambir, dan sejak jam 11.00 kalo yang di Rambutan, terus bolak-balik dari Pool Damri ke Penginapan hingga malam sampai peserta daerah (Aceh sampai Sulawesi) selesai diangkut.

Untuk yang kedua, ada sekitar 60 orang panitia dari tim acara yang minta diangkut dari bogor ke penginapan LAN. Oya, sebagai informasi, kita booking 3 gedung di penginapan LAN (sekitar 45x3=135 kamar). Sebagian besar panitia ditempatkan disini, hanya sedikit peserta yg menginap di LAN. Tim Acara minta diangkut hari Jum’at pagi jam 07.00 dari terminal Bubulak, Bogor karena jam 09.00 pagi mereka harus latihan di aula LAN Jakarta. Lalu ada panitia Timkam (Tim Keamanan) Bogor yang minta tolong diangkut pada hari-H, sabtu pagi jam 02.30 di suatu daerah bernama Mawar  di Bogor, entahlah, akupun tak tau dimana itu posisinya. Disini ada sekitar 30 orang Timkam Bogor.

Masya Allah.. masih ada lagi Timkam dari kampus UIN dan juga tim sekret dari UNJ yang buat registrasi peserta, aku minta mereka untuk booking bis sendiri dari tempat masing-masing menuju Hotel Sahid.
Untuk 60 orang tim acara yang berangkat jum’at pagi jam 07.00 dari terminal Bubulak, Bogor; alhamdulillah masih bisa booking bis Bintang Tiga Bogor. Itu juga baru booking pada hari kamis jam 15.30 selesai rapat panitia, Masya Allah... kantor Bintang Tiga tutupnya jam 16.00, alhamdulillah transaksi bisa lewat transfer atm. Bis Bintang Tiga ini hanya buat dropping panitia dari bogor ke LAN, setelah selesai, bis Balik lagi ke Bogor. 1,3 juta nih biayanya.. heuheu.. tak apalah.

Lalu bagaimana dengan bis untuk hari H? Tsumma Alhamdulillah ketemu setelah nyari di internet, sebab bis Bintang Tiga sudah fullbooked, kehabisan ceritanya. Trans Mulia nama bis untuk Sabtu hari-H, booking buat seharian dari bogor ke jakarta, mondar-mandir jakarta, dan balik lagi ke bogor. Wew.. ini lebih mahal tentunya, 3,3 juta (T_T).

****

Seharusnya rencanaku adalah, setelah selesai rapat pd hari kamis di Bogor, langsung pulang ke depok untuk persiapan menginap di LAN pada hari jum’at. Namun, karena kesorean ke atm untuk transfer biaya Bis Bintang Tiga, aku terjebak hujan sampai malam, sehingga menginaplah aku di sekret bogor kamis malam itu. Rencanaku, Jum’at pagi sebelum pulang ke depok bisa nelpon ke para ketua rombongan yang sampai di Jakarta pada hari Jum’at untuk memberitahukan mereka harus ke Pool Damri mana, Kampung Rambutankah atau Gambir? Ternyata ini tidak mudah, butuh waktu agak lama juga nelpon sekitar 15 orang ketua rombongan, dari Aceh sampai Sulawesi.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, aku masih berkutat dengan HP, catatan, dan nomor telepon. Subhanallah, aku diburu janji berikutnya, 4 orang ponakan menunggu kehadiranku di rumah abang di depok karena umminya harus pergi mengambil dua raport. Tunda dulu mandi pagi dan sarapan, nanti saja di rumah abang. Kupacu motor dari bogor menuju depok, kurang lebih 45 menit, alhamdulillah selamat sampai di rumah, hehe. Di rumah abang, setelah abang dan kakak iparku pergi, kembali aku berkutat dengan HP yang tak henti berdering. Kulanjutkan menghubungi para ketua rombongan daerah, disambi menelepon bis Trans Mulia, dan seterusnya.

Tanpa terasa, hari semakin siang, kakak iparku sudah kembali dari sekolahan, Alhamdulillah nilai raport keponakanku bagus dan baik, ada yg peringkat kedua di kelas, Alhamdulillah. Ku tak bisa berlama-lama lagi, segera aku menuju kosan mengambil perlengkapan seadanya buat nginap di LAN, kemudian ke atm untuk melunasi pembayaran bis Trans Mulia, lalu ke penginapan LAN Pejompongan. Tapi langit mulai menampakkan awan hitam, pelan namun pasti titik hujan mulai turun dari langit. Bismillah, pelan kukendarai motor menuju Jakarta. Macet, parah. Berulang kali aku menepi untuk mengangkat telpon dan membalas sms. Baru pertama kali itu aku pakai headset di HP hanya untuk mendengar ada sms masuk atau tidak.

Parahnya kemacetan dari Depok ke Pasar Minggu, ternyata tak separah kemacetan dari Pancoran ke Slipi, banjiiirr.. Masya Allah, pantesan sepupu ku ga betah tinggal di Jakarta sehingga pindah ke Medan, kemacetan yang seakan tak ada solusi inilah penyebabnya. Astaghfirullah.. Tiga jam, selama itu waktu yang kutempuh dengan motor dari Depok ke Pejompongan. Waw.. rekor nih.. :-(

Sesampainya aku di Penginapan LAN, ku cek kembali sudah bagaimana perjalanan penjemputan peserta KPI dari Pool Damri ke penginapan. Alhamdulillah cukup lancar penjemputan peserta di Pool Kampung Rambutan, namun tidak begitu keadaannya di Pool Gambir. Harapan bisa cukup sering mondar-mandir, ternyata karena hujan dan macet parah, mobil penjemputan hanya bisa mondar-mandir kurang lebih 4 kali saja. Aku dan tim menyarankan ketua rombongan daerah untuk naik taksi, sebab bila menunggu mobil penjemput akan memakan waktu sangat lama.

Oh iya, ada satu masalah lagi.. ternyata penginapan LAN itu saat hujan juga kerendam banjir, innalillahi wa innailaihi rojiun.. aku baru ngeh mengapa ada perahu karet di dekat kantor LAN, rupanya sebagai persiapan menghadapi banjir yang tiba-tiba datang, kirain hanya persiapan sebagai bentuk kesiagaan dari pihak LAN, ternyata aku terlalu polos ya, masya Allah... -_-“.

Kemudian, beranjak pukul 21.00 masih hari Jum’at di penginapan LAN, aku mendapat sms dari dua ibu panitia konsumsi yang minta diantarin ke angkot terdekat dengan LAN, baliau harus segera pulang ke rumahnya supaya pagi hari bisa ke hotel Sahid, dan satunya itu lho..sudah agak sepuh juga kelihatannya, Subhanallah.. Bismillah, tarik tiga, aku coba bonceng dua ibu itu dengan motor, waw.. Allahu Akbar :-). Salah satu ibunya bertanya, “Fatma, kamu itu kecil-kecil kuat juga ya? Kamu asalnya dari daerah mana sih? Padang, Palembang, atau mana nih?”, aku jawab aja sambil senyum-senyum “saya orang batak bu”. Wew.. si ibu yang satunya spontan bilang “Horas bah, habis beras makan gabah, hahahaha..”. kita lucu-lucuan di tengah malam yang dingin dan gelap.

Ku minta izin mewakili 2 orang ibu dari panitia konsumsi itu untuk ambil alih tugas mereka memesankan pizza di PHD buat sister-sister Pembicara KPI yang lagi ngumpul buat final checking di Hotel Sahid, kabarnya mereka udah malam gini belum makan. Kasian juga kalo si ibu konsumsi nanti pulangnya semakin larut bila harus ikut nyinggah di PHD, mereka ga ikut nginap di LAN soalnya.

Beres mesan pizza, pulsa ku habis. Singgah lah aku ke Alfamidi buat beli pulsa. Eh di sini ada kejadian yang merusak pemandangan kuh.. ada seorang perempuan dewasa tengah malam belanja di Alfamidi tapi pakai baju kekecilan, astaghfirullahal’adzim.. kuat-kuat aku ghodul bashor, aku malu ngelihat dia. Itu gimana ya si abang-abang kasir Alfamidi menghadapi pembeli kayak gitu..? Masya Allah.. jauhkan kami dari perilaku seperti itu ya Allah.

Aku masih harus lanjut ke penjemputan berikutnya, dua orang temanku dari sie acara dan sie media publikasi minta dijemput di jalan Sudirman untuk menginap di LAN. Si uni meneleponku “fatma, afwan.. uni udah sampai di Landmark, ini teh selanjutnya kemana?” terdengar suaranya uni yang asli padang dengan logat sunda bogor. Wah, aku juga ga tau itu letaknya dimana, posisiku sendiri berdekatan dengan abang-abang ojeg Benhil. Bertanyalah aku dengan sopan pada mereka, “Maaf pak, mau tanya, teman saya ada di Landmark, sementara saya harus menjemput mereka di jalan Sudirman ini untuk ke daerah Pejompongan, kira-kira saya ke arah mana ya?”

Si bapak ojeg ngasi tau kalo posisi si uni ada di ujung jalan Sudirman di dekat jalan Thamrin, bundaran HI dong itu.. jauhnya.. (T_T). Aku minta saran ke beliau kira-kira bagaimana solusinya, Alhamdulillah cuma diminta naik Kopaja atau Metro Mini arah Semanggi lalu turun di Halte Atmajaya sebelum Balai Sarbini. “Baik fatma, uni cari angkutannya, do’akan ya..” jawab uni setelah kusampaikan saran dari bapak ojeg. Hmm.. masalah belum selesai ternyata, uni kelewatan, bis melaju dengan kencang dan penumpangnya kepadatan, jadilah uni diturunin sama kondektur bis di Semanggi seberangnya DPR-MPR RI. “Un, jalan mundur ya sampai kampus Atmajaya, lalu nyeberang jembatan ke jalan Sudirman sebelah kanan, nanti ketemu aku di situ” pinta ku di telepon. Dengan mengerahkan segala keikhlasan di hati, uni dan temannya berjalan mundur kurang lebih 1,5 km, ditengah malam dingin. Alhamdulillah sampai juga. Setelah bertemu di Halte Bendungan Hilir, kami pun berangkat menuju penginapan panitia di LAN. Bismillah, aku bonceng mereka berdua naik motor. Bapak-bapak ojeg nawarin jasa bantuin ngantar, lalu aku bilang ke mereka.. “Maaf pak, bukan mahrom, jadi ga boleh dibonceng, terima kasih banyak atas bantunanya”. Lalu kita pergi meninggalkan bapak-bapak ojek Benhil yang penuh tanda tanya.

Di penginapan, tepar aku sebentar, sambil mengingat-ingat.. aku sudah sholat isya belum ya? Jam di HP menunjukkan hari Sabtu, tanggal 22 Desember skitar pukul 00.30. Baju dan kaos kaki yang basah selama naik motor  membuat ku meriang, ku tanya ke rekan sie penginapan, “afwan, ada panitia medis kan ya? Aku sedikit limbung nih.. gmn ya?”, dia jawab “wah mba, tim medis ga ikut nginap di LAN.. bagaimana ini?”,“oh begitu, ya tak apa-apa, aku coba minum habatusaudah dulu, mudah-mudahan bisa mendingan” jawabku. Subhanallah, Allah sesuai prasangkaan hambanya, seusai minum habbat, sholat isya, dan mengganti pakaian, tenagaku pulih kembali. Cukup untuk hari ini, Bismillah.., aku pejamkan mata tidur beberapa jam untuk kembali bertugas pukul 03.00.

(bersambung)

Rabu, 19 Desember 2012

(Kepon) Anak (an) ku, Ufi dan Thofa


Namanya Murfidah, dipanggilnya ufi, kadang-kadang suka dipanggil piyu (seperti suara kucing temannya Timi di Timi's Time, film kartun kesukaannya ^^). Cantik kan? dia ini keponakanku paling bungsu, untuk sementara ini, hihi :D..

Waktu siang itu, dia lagi duduk di mobil-mobilan. Digoyang-goyangin ternyata malah ketiduran.. hebat ya, ga pakai jatuh, seimbang lho, selama beberapa menit sebelum aku sadar kalau si ufi ketiduran.. wah wah.. anak kecil yang satu ini benar-benar menggemaskan.. :D :D
Suatu ketika, si thofa abangnya ufi bermain gendang sambil dengarin lagu dari artis favoritnya, Maher Zain lagu yang ada namanya disebut di situ (kalau ga salah ada kata "musthofa" dalam lirik lagunya, itu kata thofa lho yaa). "tak, duk, tak, duk, duk, tak.. " :D


ufi segera ikutan main gendang tanpa banyak ngomong (emang belum bisa ngomong kalee ^^v). kalo diterjemahin mungkin gini bahasanya ufi "aku juga mau, abang main gendang bareng dooong, kan kata ummi harus berbagi.. " ^_^
"tak, duk, tak, tak, duk, duk, duk, tak.." suara gendang bertalu-talu hasil kompilasi ufi dan thofa diiringi backsound Maher Zain yang berjudul Assalamu'alaika ya Rasulallah ^^"


Nah, yang ini kisahnya thofa. ceritanya dia ditinggal sama ummi di rumah, ga dibawa ngaji,soalnya lagi giliran ufi yang ikut ngaji digendong ummi. sebagai hadiah karena udah jadi anak yang baik di rumah adalah jalan-jalan beli es krim.. siap-siap dulu beli es krim ke indoma**t pakai topi dan kaca mata, eng ing eng :D


Oya, kita ga naik motor lho, tapi PP jalan kaki buat beli es krim, pulang ga naik ojeg, bukan karena bibi ga ada kocek, tapi krn ga syar'ie dibonceng bang ojeg. hehe.. jeg, jeg, jeg. Subhanallah.. thofa asyik sekali makannya.. ckckck :-)
 
Yup, dalam sekejap es krim pun ludes, bersih meeenn, ga pakai belepotan or apa itu namanya.. emm, tumpah di baju atau netes di lantai. wah, wah, wah.. sini sini take a pict dulu :D
Satu lagi kisah si Musthofa, thofa berkata sebelum berangkat ke sekolah "ummi, mana kaca matanya thofa? kan naik motor harus pakai kaca mata". "tunggu-tunggu, sini bibi foto dulu biar tambah ganteng.." kata saya ^^". klik! lho, ko' ga ada senyumnya difoto?
I said "Ayo foto sekali lagi, tapi pakai senyum ya.." wah, unyu nyaaaa :)))

Notes.
Ini baru dua orang dari sebelas keponakan ku, insya Allah menyusul kesembilan lainnya.. nantikan kami di episode berikutnya ya, jangan sampai ketinggalan.. Bye bye ^o^

Musthofa, 17 Mei 2009
Murfidah, Desember 2011

Selasa, 27 November 2012

Meneladani Keberanian Sultan Qutuz Melawan Agressor Bengis Mongol (Pelajaran Penting Untuk Penguasa Negeri Islam yang Pengecut)



Oleh Abdul-Kareem
Memobilisasi tentara Muslim ke Gaza Adalah Satu-satunya Tanggapan Yang Dapat Dilakukan Oleh Para Penguasa Muslim. Jika Tidak, Mereka Telah Mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang beriman
Israel sekali lagi membom kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak di Gaza. Seperti yang bisa diduga para penguasa Muslim hanya memberikan kecaman yang merupakan penghias bibir. Presiden Mesir Mohamed Mursi mengatakan, “Israel harus menyadari bahwa kita tidak dapat menerima agresi itu dan bahwa hal itu hanya menyebabkan ketidakstabilan di wilayah tersebut.” Namun, seperti pendahulunya Mubarak, Mursi memang menerima agresi ini dengan menolak mengambil tindakan konkret seperti dengan merobek Perjanjian Perdamaian tahun 1979 atau dengan mengirimkan tentara ke Sinai untuk mencaplok Gaza kembali ke Mesir.
Sejak awal, Israel telah melakukan kekejaman demi kekejaman terhadap umat Muslim yang mengakibatkan sebagian orang yang berkuasa menjadi lemah dan ketakutan akan berdirinya sebuah negara yang ‘kuat’. Namun, Israel bukanlah penyerang arogan yang pertama yang menyerang umat Islam. Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Mongol di bawah kepemimpinan Hulagu Khan (cucu Jenghis Khan) menyerang Khilafah Islam, mendudukii negeri Islam dan bahkan membunuh Khalifah Al-Musta’sim di Baghdad. Orang Mongol membantai puluhan ribu Muslim dan menjarah dan menghancurkan masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan, dan rumah sakit-rumah sakit.
Setelah invasi ke Irak Hulagu menduduki Palestina dan mengirim utusan ke Sultan Qutuz di Kairo, Mesir menuntut penyerahan dirinya. Hulagu, seperti halnya para pemimpin Israel, melihat dirinya sebagai tak terkalahkan. Dia dengan angkuhnya menulis:
Dari Raja Para Raja dari Timur dan Barat, Khan Yang Agung. Untuk Sultan Qutuz, yang melarikan diri untuk menghindari pedang kami. Anda harus berpikir tentang apa yang terjadi pada negara-negara lain dan menyerahkannya kepada kami. Anda telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan-kerajaan yang luas dan telah memurnikan bumi dari para pengacau yang telah mencemarinya. Kami telah menaklukkan wilayah yang luas, membantai semua orang. Anda tidak bisa lepas dari teror tentara kami. Kemana Anda dapat melarikan diri? Apa jalan yang akan Anda gunakan untuk melarikan diri dari kami? Kuda-kuda kami dapat berlari cepat, panah-panah kami tajam, pedang-pedang kami seperti petir, hati-hati kami sekeras pegunungan, dan tentara kita banyak seperti pasir. Benteng-benteng tidak akan mampu menghadang kami, dan tentara tidak akan mampu menghentikan kami. Doa-doa  Anda kepada Tuhanmu akan sia-sia melawan kami. Kami tidak tergerak oleh air mata atau tersentuh oleh ratapan. Hanya mereka yang memohon perlindungan kami yang akan selamat.. Bersegaralah memberikan surat balasan sebelum api peperangan menyala. Jika melawan, Anda akan mengalami bencana yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid-masjid dan mengungkapkan kelemahan Tuhanmu dan akan membunuh anak-anakmu dan orang tuamu bersama Anda. Saat ini, Anda adalah satu-satunya musuh yang harus kami hadapi.. ”
Sultan Qutuz takut kepada Allah SWT dan tidak menjadi lemah oleh ancaman Mongol. Sebaliknya, dia menjawab dengan memobilisasi tentara Muslim dan berbaris keluar dari Mesir, melalui Gaza dan Palestina sehingga menimbulkan kekalahan memalukan pasukan Mongol pada pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Ain Jaluut.
Kita harus ingat bahwa tanggung jawab menghentikan agresi Israel ada pada umat Islam dan khususnya mereka yang memiliki kemampuan untuk menghentikannya yang merupakan tentara kaum Muslim. Bala tentara ini hanya akan bisa digerakkan oleh Khalifah yang sebegaimana Sultan Qutuz tidak takut kepada apapun selain kepada Allah SWT dan tidak takut kepada orang-orang Yahudi atau orang-orang Kristen, Israel dan Amerika, atau sekutu-sekutu mereka.
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.”(Al-Taubah, 9:14); RZ: www.khilafah.com /Jumat, 16 November, 2012

Sabtu, 27 Oktober 2012

Renungan Idul Adha Korbankan “Ismail”-mu

(Ketaatan dan Pengorbanan untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah)

[Al-Islam 628]

Hari ini kaum muslimin di seluruh dunia menggemakan pujian atas kebesaran Allah Swt. Langit pun bergemuruh dengan suara takbir, tahlil dan tahmid. Sementara itu lebih dari 2 juta saudara kita kaum muslimin lainnya saat ini berada di tanah suci tengah menunaikan ibadah haji.
Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu, secara fitri manusia akan terdorong untuk mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Begitu pula Nabiyullah Ibrahim as. Beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih. ‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)

Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu.

“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai andâdan, pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.

Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.

Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.

Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan, segera mengusirnya.

Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.

Perintah amat berat itu pun disambut Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
“Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.

”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)

Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang terkutuk.

Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan haram.

Semangat tauhid itu sangat kita perlukan agar kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:

 “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).


Wahai Kaum Muslimin
Dalam rangka menyerap teladan diatas sekaligus sebagai renungan di hari Idul Adhha ini, ada beberapa hal pokok yang penting untuk ditegaskan:

Pertama, Kisah hidup Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seluruh prosesi Haji beserta perayaan Idul Adha sesungguhnya telah memberikan kepada kita pelajaran yang sangat berharga tentang cinta, ketaatan dan pengorbanan serta sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menjalani hidup ini sesuai prinsip-prinsip tauhid, yakni keimanan yang penuh kepada Allah SWT.

Dengan tauhid itu, marilah kita tetap teguh memegang ketentuan halal dan haram, dan di saat yang sama tidak mudah terdorong melakukan pelanggaran terhadap syariah-Nya. Bila prinsip ini dilanggar, mungkin saja berbagai macam keinginan dalam hidup kita itu bisa diraih, tapi pasti akan membawa keburukan, dan pasti juga akan menjauhkan kita dari cinta dan ridha Allah SWT.

Kedua, Ketaatan pada Allah SWT yang diwujudkan dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah dalam kehidupan pribadi, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara itulah akan terbentuk masyarakat tauhid dan negara yang berbeda dengan masyarakat dan negara jahiliah. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyyah yang diwajibkan Allah Swt untuk ditegakkan. Dan ingatlah, bahwa hanya dalam Daulah Khilafah sajalah kerahmatan Islam akan terwujud dan keridhaan Allah akan didapatkan.

Ketiga, Salah satu buah dari tauhid adalah ukhuwah atau persaudaraan Islam, yakni persaudaraan universal atas dasar keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tampak dalam berkumpulnya jamaah haji dari seluruh dunia di Tanah Suci tanpa membedakan ras, suku bangsa, bahasa dan pangkat derajat. Semua hadir di sana atas dasar, motif, dan dorongan yang sama, juga melakukan manasik haji dengan cara yang sama. Tapi sayang, persaudaraan universal itu berhenti hanya sebatas di Tanah Suci. Usai haji, kembali umat Islam terpecah belah ke dalam lebih dari 50 negara. Persaudaran itu tidak tampak lagi. Umat Islam yang berjumlah lebih dari 1,5 miliar itu tetap lemah, tidak memiliki kekuatan sehingga mudah dirusak oleh musuh-musuh Islam. Di sinilah pentingnya perjuangan untuk tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah harus terus digelorakan, karena hanya khilafah sajalah yang mampu menyatukan kembali umat Islam sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.

Keempat, Perjuangan bagi tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan. Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa mendatang.

Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di tengah kehidupan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

hizbut-tahrir.or.id

Hukum Sholat Jumat Bersamaaan Dengan Sholat Idul Adha atau Idul Fitri

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Adha  1433 H sekarang juga jatuh pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.

Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.

Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.

Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.



2.Pendapat Yang Rajih

Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.


2.1. Keterangan Hukum Pertama

Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :

صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.

Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.

Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?

Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)


2.2.Keterangan Hukum Kedua

Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).

Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.


2.3.Keterangan Hukum Ketiga

Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.

Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.


2.4. Keterangan Hukum Keempat

Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.

Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.



3.Meninjau Pendapat Lain

3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.

Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :  “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.


3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut :  “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.

Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.

Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.


3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.

Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)


4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :

Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.

Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.

Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.

Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =




*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal

hizbut-tahrir.or.id

Ucapan Selamat Dari Hizbut Tahrir Dalam Moment Idul Adha al-Mubarak


 


Maktab I’lami Pusat Hizbut Tahrir
No : 31/1433 H 10 Dzulhijjah 1433 H/26 Oktober 2012
Keterangan Pers : 

Ucapan Selamat Dari Hizbut Tahrir Dalam Moment Idul Adha al-Mubarak

اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبر،،، لا إله إلا الله،،، اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبر،
وللهِ الحمد

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga dan para sahabat beliau, serta siapa saja yang loyal kepada beliau… dan kepada siapa saja yang mengikuti beliau dan menyusuri jejak langkah beliau, sehingga ia menjadikan akidah islamiyah sebagai asas pemikirannya dan menjadikan hukum-hukum syara’ sebagai standar bagi perbuatan-perbuatannya dan sumber bagi hukum-hukumnya. Amma ba’du Wahai kaum muslimin di mana saja berada …

Kami di Maktab I’lami Hizbut Tahrir merasa bahagia untuk menyampaikan kepada umat Islam seluruhnya, ucapan selamat dari Amir Hizbut Tahrir, al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah hafizhahullah dengan datangnya hari raya Idul Adha yang penuh berkah ini. Kami juga merasa bahagia untuk menyampaikan ucapan selamat dari syabab dan syabah Hizbut Tahrir, yang mereka siang malam tiada henti, berjuang melawan rezim-rezim diktator, dan berjuang untuk menjulangtinggikan kalimat Allah dengan tegaknya daulah al-Khilafah yang telah disampaikan berita gembiranya oleh hamba Allah dan Rasul-Nya saw.


Selama satu tahun lalu kita bersimpuh memohon kepada Allah yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus makhluk-Nya, agar memuliakan kita dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah. Dan hari-hari ini kita menyaksikan tumbangnya diktator Syam. Revolusi Syam menyaksikan konspirasi siang malam dari negara-negara Barat, terutama Amerika, dan kolusi mereka dengan jagal Damaskus dalam menumpahkan darah yang haram siang dan malam menggunakan semua sarana pembunuhan dan penghancuran yang mereka punya. Hal itu menunjukkan dengan sangat gamblang dan jelas betapa ketakutan para pemimpin barat dan kaki tangan mereka di antara para penguasa kaum muslimin, mereka sangat takut revolusi Syam akan berpuncak dengan tegaknya daulah al-Khilafah.

Sandainya warga kita di Syam tunduk kepada apa yang didektekan oleh Amerika dan antek-anteknya, niscaya mereka bisa memaksakan Karzai lain atau Thanthawi lain yang mengarahkan revolusi sesuai orientasi Amerika… Dan niscaya para penyeru Dewan Amerika yang disebut Dewan Nasional bisa masuk ke istana al-muhajirun sebagai pemegang amanah revolusi Syam, padahal mereka itu hanyalah buatan rezim Turki Amerika… Akan tetapi orang-orang revolusioner Syam pada Jumat terakhir dengan tema “Amerika … tidak akan pernah kebenciannya merasa puas dengan darah kita” telah menyingkap kesadaran mereka terhadap hakikat makar dan konspirasi Amerika.

Kami, jika kami memberi ucapan selamat kepada umat seluruhnya dengan datangnya hari raya Idul Adha yang penuh berkah ini, kami memanfaatkan kesempatan untuk mengingatkan kaum muslimin seluruhnya dan yang utama adalah para pemimpin dan perwira militer serta para pemilik kekuatan dan kemampuan untuk melakukan perubahan, kami mengingatkan mereka semua akan kewajiban syar’iy dalam menolong saudara-saudara mereka dan warga mereka di Syam yang disifati oleh Rasululllah al-Mushthafa sebagai pusat Dar al-Islam…

Kami sampaikan berita gembira kepada warga kami di Syam dengan pertolongan Allah yang telah dijanjikan. Dan hendaklah mereka memurnikan pengorbanan mereka di jalan meraih keridhaan Allah sehingga mereka meraih kesuksesan dengan salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau syahadah. Dan ketika saya sampaikan kepada Anda dan kepada umat Islam, ucapan selamat direktur Maktab I’lami pusat Hizbut Tahrir dan seluruh aktivis di dalamnya, saya bersimpuh menghadap kepada Allah azza wa jalla agar menghadirkan hari raya Id mendatang, dan umat Islam hidup di bawah naungan panji al-‘Uqab dan semoga umat Islam telah bersatu, menang dan mulia dengan izin Allah, dan telah kembali menapaki markas kepemimpinan, dan sesungguhnya Allah Maha Penolong atas hal itu dan Maha Kuasa atasnya.

اللهم يا حي يا قيوم يا حنان يا منان يا من رفع السماوات بغير عمد نراها أكرمْنا بدولة الخلافة وأكرمنا بنصرك المؤزر على أعدائك وعلى سفاح دمشق ومَن ناصره ودعمه وانصر المجاهدين في سبيلك في كل مكان ومكنهم من إعلاء كلمتك ونصرة دينك.

Ya Allah wahai Zat yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus hamba-Nya, wahai Zat yang Maha Kasih lagi Maha Pemberi, Wahai Zat yang meninggikan langit tanpa penyangga yang kami lihat. Muliakanlah kami dengan daulah al-Khilafah. Muliakan kami dengan pertolongan-Mu dengan mengalahkan musuh-musuh-Mu dan mengalahkan jagal Damaskus serta orang-orang yang menolongnya dan mendukungnya. Dan tolonglah mujahidin di jalan-Mu di mana saja dan berilah mereka kemampuan untuk menjulangtinggikan kalimat-Mu dan menolong agama-Mu.

Kami meminta perhatian Anda bahwa siaran khusus terkait hara raya idul Adha ini telah diatur, mulai hari Jumat, hari pertama Idul Adha yang penuh berkah.

وكُلُّ عامٍ وأنْتُمْ بِخَيْرٍ وتَقَبَّلَ اللهُ الطّاعات

Setiap tahun semoga Anda berada dalam kebaikan, dan semoga Allah SWT menerima segala ketaatan kita

والسّلامُ عليكُمْ ورحمةُ اللهِ وبَرَكاتُه
سُبحانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ نَشْهَدُ أنْ لا إِلَهَ إلاّ أَنْتَ نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوبُ إِلَيْك

Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan pujian-Mu kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, kami memohon ampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu Malam Idul Adha yang penuh berkah 1433 H Ustman Bakhasy Direktur Maktab I’lami Pusat  Hizbut Tahrir.

hizbut-tahrir.or.id