Rabu, 27 Februari 2013

Membiasakan Anak (Keponakan) Berjilbab Sejak Kecil (^_^)v *


Begitu masuk masa baligh, pada anak perempuan berlangsung lebih awal yakni 9-12 tahun, seorang anak mulai dibebani dengan hukum syara’ (mukallaf).  Amal dan dosa mereka dihisab.  Agar saat baligh mereka telah siap menjalankan hukum syara’,  mereka perlu dilatih dan dibiasakan menjalankannya sedari kecil.  Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seorang anak telah mampu membedakan tangan kanan dan kirinya maka perintahkanlah ia untuk melakukan shalat.” (HR Thabrani).
Begitu juga beliau SAW bersabda: “Perintahkan anakmu shalat usia 7 tahun, dan bila telah berusia 10 tahun pukullah bila ia mengabaikannya .” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Daruquthni)
Dari perintah membiasakan anak shalat saat usianya belum menginjak baligh, dapat diambil analogi bagi pembiasaan hukum-hukum syara’ yang lain.   Telah masyhur bahwa para shahabat mengajarkan anak-anak mereka berpuasa saat mereka masih kecil, sampai-sampai mereka membuatkan mainan dari wol agar anak-anak bisa bermain sampai tiba waktu berbuka (HR Bukhari –Muslim).
Dari apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dan apa yang dilakukan para shahabat, maka pembiasaan bagi anak dalam menjalankan hukum syara’ adalah hal yang harus kita lakukan.  Tanpa adanya pembiasaan di awal, dikhawatirkan anak akan merasa berat menjalankan hukum syara’ saat usia mereka masuk baligh.  Sementara mereka telah dikenai dosa ketika meninggalkan kewajiban-kewajiban syara’.
Pembiasaan
Wajibnya mengenakan jilbab dan kerudung adalah kewajiban yang sama dengan wajibnya shalat atau puasa.  Dengan demikian, melatih anak perempuan mengenakan jilbab dan kerudung juga sama wajibnya dengan melatih anak untuk shalat atau berpuasa.  Pembiasaan semenjak dini akan menjadikan anak merasa lebih nyaman dan tidak canggung lagi saat mengenakan jilbab dan kerudung telah menjadi wajib baginya.
Upaya pembiasaan mengenakan jilbab dan kerudung bagi anak-anak dapat dilakukan secara bertahap.  Pertama, tentu perlu adanya teladan dari orang tuanya.  Anak-anak akan merasa gembira meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, terutama anak perempuan meniru ibunya.  Untuk kenyamanan anak perlu kita pertimbangkan bahan jilbab dan kerudung yang akan dikenakan, misalnya bahan kaos yang dingin dan menyerap keringat.
Setiap kali membawa anak keluar rumah, orang tua dapat mengajak anak mengenakan kerudungnya.  Bila anak tidak mau orang tua tidak perlu memaksa.  Begitu pula bila di tengah perjalanan anak kegerahan atau tidak nyaman, dapat kita lepaskan dulu kerudungnya.  Inti dari latihan ini adalah membuat anak merasa nyaman, bukan membuatnya merasa bahwa jilbab dan kerudung menyusahkannya.
Pemaksaan orang tua dapat berakibat anak malahan menjadi tidak nyaman dengan jilbab dan kerudungnya sehingga ia cenderung untuk meninggalkannya bila di luar pengawasan orang tua. Bila anak sudah menjelang baligh, kita perlu menyampaikan kepada mereka dalil-dalil wajibnya jilbab dan kerudung sehingga mereka kuat berpegang pada hukum.  Bukan melakukan sesuatu yang sifatnya dogma semata.  Upaya ini senantiasa kita iringi dengan penanaman akidah yang kokoh pada anak, sehingga yang muncul adalah kesadaran dan bukan keterpaksaan.
Kesulitan yang kita alami dalam proses pembiasaan anak mengenakan jilbab, insya Allah kelak akan berbuah manis di hadapan Rabb kita.  Mengajarkan anak mengenakan jilbab, akan menjadi ilmu bermanfaat.  Selama anak kita berjilbab, pahalanya akan terus mengalir, sekalipun kita sudah berselimut tanah di dalam kubur.  Insya Allah. (copaste dari mediaumat.com, 27/2)

Judul aseli:  Membiasakan Anak Berjilbab Sejak Kecil 

Rabu, 13 Februari 2013

ABORSI dan BAYI TABUNG


Salam teman-teman, apa kabar..? 

Kali ini saya mau bagi-bagi sedikit pandangan Islam terkait Aborsi (abortus) dan Bayi Tabung. Apa kalian sudah tau apa itu aborsi dan bayi tabung? Well.. bagi yang sudah tau, tentunya dua kondisi ini amat bertentangan ya, satunya menginginkan agar janin di perut ibu dimusnahkan, dan satunya lagi kepingiiiinn banget agar rahim ibu diisi oleh makhluk mungil bernyawa yang kelak dipanggil "... oh anak ku sayang, ummi mencintai mu.." heu.. so sweet.. :p.

Jadi teman-teman, ini tuh bukunya udah jadul banget.. tapi alhamdulillah, berkat kebaikan hati seorang ustadz di facebook, beliau bagi-bagiin deh ke kita-kita followers *ups friends setianya di socmed.. maklom, sekarang lebih senang berkicau dari pada ngapdet status.. :D

Dan tentunya, ini tuh pemahaman berharga dan sangat mahal wahai kawan ku, terutama bagi kamu-kamu yang anak kesehatan. tapi, ga gitu juga sih, yang lain juga harus ngertilah, secara ini tuh pemahaman Islam, memahami Islam itukan ga pandang bulu, mau ustadz, ustadzah, dokter, politikus, insinyur, ibu rumah tangga, mahasiswa, remaja, pokoknya semuaaaaaaa...

Oiya, berhubung ebooknya puanjang banget, jadi saya pilihkan dua judul ini dulu ya. Ntar lain waktu saya muat lagi judul-judul berikutnya yang ga kalah pentingnya. Penulis buku ini adalah al mukarom As Syaikh Abdul Qadim Zallum. Siapakah beliau? Tanya mbah google gih.. hehe :D

Okelah, bagi yang berkunjung, sudilah kiranya meninggalkan jejak komentarmu di blog ku ini, nanti kita saling blog walking okey?

Sampai jumpa dan selamat membaca.. :o)




1. ABORTUS

Abortus (al ijhadh) merupakan salah satu problem masyarakat Dunia Barat yang muncul akibat kebejatan moral masyarakatnya, banyaknya kelahiran ilegal karena perbuatan zina yang tak terhitung lagi, serta membudayanya pergaulan bebas di luar nikah. Prosentase kelahiran ilegal tersebut ¾menurut data yang dipublikasikan oleh mass media Barat¾ bahkan telah mencapai 45 % dari seluruh kelahiran. Prosentase ini terkadang naik dan terkadang turun. Di beberapa negara Barat prosentasenya bahkan telah mencapai 70 %.
Kelahiran ilegal ini adalah akibat keliaran seksual pada masyarakat Barat, yang terjadi karena pengadopsian mereka terhadap ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) dan ide kebebasan individu ¾di antaranya ide kebebasan bertingkah laku¾ yang telah memperbolehkan manusia untuk bersenang-senang dalam hidupnya dengan segala cara. Perzinaan dan pergaulan bebas di luar nikah telah menjadi perkara yang lumrah dan ditolerir oleh undang-undang, sehingga masyarakat Barat tak ubahnya bagaikan sekawanan binatang, karena dianutnya ide kebebasan dan keliaran seksual tersebut.
Banyaknya kelahiran ilegal tersebut ¾yang membuat hampir setengah anak-anak di Barat menjadi anak zina¾ telah mendorong banyak negara Barat untuk menetapkan undang-undang yang membolehkan seorang wanita yang ingin menghentikan kehamilannya¾terutama jika terjadi karena zina atau pergaulan bebas di luar nikah¾ untuk menggugurkan kandungannya. Ini karena di berbagai masyarakat Barat, pihak ibulah yang akan memikul tanggung jawab pendidikan anak-anak yang lahir karena zina dan pergaulan bebas di luar nikah.
¾sebagai bagian dari propaganda budaya mereka kepada kita¾ dengan tujuan menyebarluaskan kebejatan moral di kalangan kaum muslimin, menghancurkan institusi keluarga mereka, dan memusnahkan nilai-nilai akhlak Islam yang tersisa dalam masyarakat Dunia Islam.
Demikianlah realitas kontemporer masyarakat Dunia Barat. Adapun realitas masyarakat Dunia Islam, maka abortus dapat dikatakan masih sedikit terjadi, dikarenakan sedikitnya zina dan pergaulan bebas di luar nikah. Jika toh terjadi abortus, maka itu pada umumnya dilakukan sebagai terapi untuk menyelamatkan jiwa sang ibu.
Adapun mengenai fakta abortus dan hukum syara' mengenai abortus tersebut adalah sebagai berikut:

Al ijhadh (abortus) dalam bahasa Arab artinya pengguguran janin dari rahim. Jika dikatakan,"ajhadhtu an naaqah" (aku telah melakukanijhadh pada seekor onta), maka artinya "alaqtu waladaha qabla tamaam" (aku membunuh anak onta sebelum dia sempurna).  Para fuqaha mendefinisikan al ijhadh (abortus) sebagai gugurnya janin sebelum dia menyempurnakan masa kehamilannya. Definisi ini dalam bahasa Arab diungkapkan dengan beberapa istilah yang inti maksudnya sama. Di antaranya ialah al imlaash, al isqaath, al ilqaa', dan al ikhraaj.
Abortus dapat terjadi dengan sengaja (abortus provocatus) akibat upaya tertentu dari pihak perempuan dengan meminum obat-obatan tertentu, atau dengan memikul suatu beban yang berat, atau dengan membuat gerakan-gerakan tertentu yang kasar. Termasuk pula di sini abortus yang terjadi atas permintaan pihak perempuan kepada seorang dokter untuk menggugurkan kandungannya, dan abortus yang terjadi karena tindak penganiayaan orang lain atas perempuan (imlash). Selain yang disengaja, ada pula abortus yang terjadi tanpa disengaja (spontaneus abortus).
Abortus dapat terjadi sesudah ataupun sebelum peniupan ruh ke dalam janin. Jika abortus terjadi setelah peniupan ruh (120 hari), maka dalam hal ini seluruh fuqaha telah sepakat mengenai keharamannya, baik yang menggugurkan itu ibu si janin, bapaknya, dokter,maupun dari seseorang yang menganiaya pihak perempuan. Abortus ini haram karena merupakan penganiayaan terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya (ma'shumud dam), dan merupakan suatu tindak kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan), yang ukurannya adalah satu ghurrah (seorang budak laki-laki atau perempuan), dan nilainya adalah sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta, karena diyat manusia sempurna = 100 ekor onta). Allah SWT berfirman:

"...dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." (QS. Al An'aam: 151)

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata:

"Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan..."

Ciri-ciri minimal janin yang mengharuskan diyat satu ghurrah, ialah bahwa bentuknya sudah mempunyai bentuk tubuh manusia normal secara jelas, seperti adanya jari, tangan, kaki, kuku, atau mata.
Demikianlah. Jadi pengguguran janin setelah ditiupkannya ruh ke dalamnya, adalah haram menurut seluruh fuqaha tanpa ada perbedaan pendapat lagi.
Sedangkan pengguguran janin sebelum ditiupkannya ruh ke dalamnya, maka dalam hal ini para fuqaha telah berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang membolehkannya, dan ada pula yang mengharamkannya sesuai dengan rincian tahapan penciptaan janin.
Adapun hukum syara' yang menjadi dugaan kuat kami, ialah bila abortus dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Jadi hukumnya sama dengan hukum keharaman abortus setelah peniupan ruh ke dalam janin, dan dalam hal ini wajib membayar diyat, yang besarnya sepersepuluh diyat manusia sempurna. Ini dikarenakan jika janin telah memasuki fase penciptaan, dan nampak padanya beberapa organ tubuh, seperti tangan, kaki, mata, kuku, dan lain-lain, maka dapat dipastikan pada saat itu janin sedang berproses untuk menjadi manusia sempurna. Dengan demikian, hadits mengenai keharaman pengguguran kandungan di atas dapat diterapkan pada fakta tersebut. Hadits tersebut adalah riwayat Imam Bukhrari dari Abu Hurairah RA, dia berkata:

"Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan..."

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud RA, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

"Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat  itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?' Maka Allah kemudian memberi keputusan..."

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

"(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam..."

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda kehidupan yang terpelihara darahnya (ma'shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya. Padahal Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan seperti itu tatkala Dia berfirman:

"Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh." (QS. At Takwiir: 8-9)

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusiasempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut.
Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia  masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), sehingga hadits mengenai pengguguran janin di atas (HR. Bukhari dan Muslim) tidak cocok untuk diterapkan pada fakta tersebut.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan 'azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. 'Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab 'azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perempuan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah SAW telah membolehkan 'azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak menginginkan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepadanya:

"Lakukanlah 'azl padanya jika kamu suka!"

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi SAW, lalu dia berkata,"Saya punya seorang budak perempuan yang menjadi pelayan kami dan penyiram pohon korma kami. Aku sering menggaulinya, sedang aku tidak suka kalau dia hamil."  Lalu Nabi bersabda kepadanya:

'Lakukanlah 'azl padanya jika kamu suka, sebab apa yang telah ditakdirkan (Allah) bagi perempuan itu (kehamilan), pasti akan tetap terjadi (jika Allah berkehendak)."

Rasulullah SAW telah menamai 'azl ¾dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jadamah¾ sebagai "pembunuhan yang samar" (al wa'dul khafi). Imam Muslim dan Imam Ahmad merwayatkan dari Jadamah binti Wahab Al Asadiyah RA, dia berkata."Aku pernah hadir ketika Rasulullah SAW  sedang ada di tengah-tengah kerumunan orang...Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang 'azl. Maka Rasulullah menjawab:

'Yang demikian itu ('azl) adalah pembunuhan yang samar/tidak kentara (al wa'dul khafi), dan itulah (apa yang dinyatakan dalam firman Allah sebagai) 'apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya'."

Dalam kitab Lisanul 'Arab karya Imam Ibnu Manzhur, terdapat penjelasan hadits di atas sebagai berikut :

" Dalam satu hadits Rasulullah SAW telah melarang 'wa'dul banaat', yaitu membunuh anak-anak perempuan. Dalam hadits tentang 'azl, beliau bersabda,'Yang demikian itu ('azl) adalah pembunuhan yang samar (al wa'dul khafi).' Dan dalam hadits lain beliau bersabda, 'Itu ('azl) adalah pembunuhan kecil (al ma'udatush shughra).' Jadi Rasulullah telah menetapkan bahwa 'azl pada seorang wanita kedudukannya sama dengan suatu pembunuhan, hanya saja hal ini adalah 'pembunuhan kecil'. Sebab seorang laki-laki yang melakukan 'azl pada isterinya sesungguhnya telah menolak kelahiran anak, maka 'azl dinamakan sebagai 'pembunuhan kecil', sebab yang dinamakan 'pembunuhan besar'  adalah mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup."

Dahulu para shahabat pada masa Nabi SAW telah melakukan 'azl ketika mereka tidak menghendaki kehamilan isterinya/budak perempuannya. Namun meskipun Rasulullah SAW mengetahui hal tersebut, beliau tidak pernah melarang mereka untuk melakukannya. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata:

"Dahulu kami melakukan 'azl pada masa Rasulullah, sementara Al Qur'an masih turun." (Muttafaq 'alaih).

Dalam riwayat lain menurut Imam Muslim:

"Dahulu kami melakukan 'azl pada masa Rasulullah. Kemudian hal itu disampaikan kepada beliau dan beliau ternyata tidak melarangnya."

Kapan Dibolehkan Melakukan Abortus ?

Dibolehkan melakukan abortus baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan abortus dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, dan di samping itu abortus dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat.

Imlash

Imlash adalah pengguguran kandungan dengan melakukan penganiayaan terhadap perempuan. Tindakan ini adalah suatu dosa dan merupakan perbuatan kriminal.
Dalam hal ini pelakunya wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, dan nilainya sebesar sepersepuluh diyat manusia sempurna. Dalam Shahihain terdapat keterangan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah meminta pendapat kepada para shahabat mengenai kasus seorang wanita yang gugur kandungannya karena perutnya dipukul. Kemudian Mughirah RA berkata kepada Umar,"Rasulullah SAW pernah memutuskan dalam masalah seperti ini dengan mewajibkan diyat satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan." Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian terhadap pemberitaan Mughirah tersebut (Muttafaq 'alaih).
  






2. BAYI TABUNG

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk berbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.
Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan ¾antara sel sperma suami dengan sel telur isteri¾dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.
Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh (ja'iz) menurut syara'. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda:

"Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti." (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
 "Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti."(HR. Ahmad)

Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.
Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.
Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai "ibu pengganti" (surrogate mother). Begitu  pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li'an:

"Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti)." (HR. Ad Darimi)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

"Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia." (HR. Ibnu Majah)

Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta'zir*, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

----------------------------------------------------------------------
*ta'zir adalah sanksi syar'i terhadap suatu perbuatan maksiat yang tidak ada had (ketentuan jenis dan kadar sanksi) dan kaffarah (tebusan) padanya.

Selasa, 12 Februari 2013

Demokrasi Biang Korupsi


Korupsi di negeri ini diprediksi akan makin marak, apalagi menjelang Pemilu 2014. Dari berbagai kasus korupsi yang terkuak, terlihat pihak yang terlibat korupsi makin luas dan beragam, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, politisi parpol dan aparatur di semua jenjang. Parpol yang seharusnya menjadi salah satu pilar pemberantasan korupsi, menurut Ketua MK, Mahfud MD, (lihat, sindonews.com, 4/2), saat ini justru tidak ada satu parpol pun yang bebas dari kasus korupsi.


Demokrasi Biang Korupsi
Perlu dana besar untuk membiayai proses politik dan kepentingan kampanye. Sumbernya bisa dari dana sendiri atau modal dari pemilik modal. Dengan proses politik itu kekuasaan di dapat. Lalu kekuasaan itu dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal, juga untuk memupuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Jadilah siklus money making power, power making moneyterus bergulir. Di situlah terjadi persekongkolan politisi-penguasa dengan pemodal, dan juga terjadi korupsi dalam berbagai bentuk dan modusnya. Maka sistem demokrasi padat modal itulah yang jadi biangnya korupsi.

Mendekati Pemilu 2014, skala korupsi diperkirakan makin meningkat karena parpol butuh biaya kampanye. Terlebih lagi, pembiayaan politik di era reformasi semakin tinggi akibat fenomena amerikanisasi metode kampanye. Politisi menggunakan iklan media massa secara massif dan kegiatan politik ditangani profesional. Di tengah kebutuhan biaya politik yang tinggi, jauh lebih mudah mendapatkan rente dengan memperdagangkan otoritas ketimbang mendapatkan pembiayaan dari sumber partai, apalagi umumnya parpol tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Maka keterlibatan parpol dalam korupsi akan sulit dicegah. Para kader parpol yang menjadi pejabat negara dipaksa mencari sumber dana. Modusnya beragam. Dari kasus-kasus yang terungkap oleh KPK, setidaknya ada 18 modus korupsi yang sering dipakai.

Korupsi politik tidak terjadi hanya pada APBN. Dana politik yang jauh lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan. Bahkan anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi. Menurut Ari Dwipayana Dosen FISIP UGM (kompas.com, 3/2), “Korupsi APBN, seperti mark-upfee proyek, pengambilan dana proyek, hanya modus konvensional. Justru korupsi politik melalui kebijakan yang dibuat otoritas pemerintah, baik di kabinet maupun parlemen, jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi.”

Pemberantasan korupsi makin payah karena penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Sudah begitu, pembuktian kasus korupsi hanya bertumpu pada penggunaan bukti materiil dan dibebankan kepada penyidik polisi, KPK dan jaksa. Apa yang dikenal asas pembuktian terbalik yang terbukti efektif justru dijauhi. Padahal para koruptor sangat ahli menyamarkan transaksi korupsi sehingga sulit terdeteksi. PPATK telah menemukan 35 modus menyamarkan transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh anggota DPR (centroone.com, 2/1/13).

Jika pun akhirnya koruptor diadili, vonis mereka pun sangat rendah, tidak memberi efek jera sama sekali. Harta yang mereka korupsi pun masih aman karena tidak ada proses “pemiskinan” terhadap koruptor.

Dari semua itu jelaslah, masalah korupsi bukan sekedar masalah person. Korupsi adalah masalah sistem dan ideologi. Sistem demokrasi menjadi biang korupsi dan ideologi sekuler kapitalisme menjadi habitat hidup korupsi. Negeri ini bersih dari korupsi akan terus sebatas mimpi, selama ideologi sekuler kapitalisme dan demokrasi tidak diganti.


Syariah Islam Menjadi Solusi
Korupsi saat ini bukan hanya karena rakus harta, tapi juga karena motiv kekuasaan. Politisi dan para wakil rakyat yang turut mempengaruhi kebijakan dan pengisian jabatan menjadi salah satu pintu korupsi. Wakil rakyat yang turut memiliki otoritas penganggaran, penentuan kebijakan, penentuan proyek, dan pengisian jabatan memunculkan mafia anggaran, makelar proyek, calo jabatan, dsb. Kekuasaan legislasi membuat undang-undang di tengah desakan biaya politik tinggi, akhirnya UU dan aturan diperdagangkan demi kepentingan kapitalis bahkan asing, dengan imbalan uang.

Semua itu ditutup rapat oleh Syariah Islam. Dalam Sistem Islam, politisi dan anggota Majelis Ummat, tidak turut menentukan UU, kebijakan, anggaran, proyek dan pengisian jabatan. Politisi dan anggota Majelis Ummat hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi, termasuk menggunakan jalur Mahkamah Mazhalim. Adapun penentuan kepala daerah, ia ditunjuk oleh Khalifah. Namun keberlangsungannya selain ditentukan oleh Khalifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat termasuk para anggota Majelis Wilayah. Jika mereka tidak menerimanya atau meminta diganti, maka Khalifah harus mengganti kepala daerah itu. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw yang mengganti al-‘Ala’ bin al-Hadhrami sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.

Sementara motif kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang simpel dan jelas tentang harta ghulul (harta yang diperoleh secara ilegal). Rasul saw bersabda:
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)

Hadits ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah, fee, pungutan, dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.

Menurut hadits ini, pemberian (pendapatan) aparat harus jelas, maka pertambahan kekayaan yang wajar dari aparat itu juga akan jelas. Pertambahan diluar kadar yang wajar itu harus dipertanggungjawabkan dan dibuktikan perolehannya secara sah. Sebab jika tidak, itu termasuk harta ghulul dan harus diserahkan ke kas negara. Hal itu mudah diketahui melalui pencatatan kekayaan aparat, pejabat dan penguasa seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.

Abdullah bin Umar menuturkan, Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan harta para penguasa daerah. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’,hal 132). Apa yang dilakukan oleh Umar itu didengar dan disaksikan oleh para sahabat, dan tidak ada dari mereka yang mengingkarinya sehingga menjadi ijmak sahabat bahwa hal itu adalah dibenarkan dan disyariatkan.

Berbekal catatan harta itu, bisa dibuktikan adanya kelebihan harta aparat, pejabat dan penguasa yang tidak wajar. Selanjutnya aparat, pejabat atau penguasa itu harus membuktikan bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Proses pembuktian seperti itulah yang disebut proses pembuktian terbalik. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka jumlah harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah, sebagian atau seluruhnya disita dan dimasukkan ke kas negara. Penyitaan harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah itulah yang disebut “pemiskinan” koruptor. Cara itu sangat ampuh untuk memberantas korupsi dan menindak koruptor, sebab langsung menohok motiv rakus harta yang mendorong koruptor melakukan korupsi. Jika cara seperti itu diterapkan, maka tidak ada lagi kebuntuan pemberantasan korupsi akibat aparat kesulitan menemukan bukti materiil. Aparat cukup membuktikan adanya kelebihan harta kekayaan yang tak wajar. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan rekening, inventaris kekayaan, harta yang dimiliki, atau laporan kekayaan.

Proses itu diterapkan pada diri pejabat dan orang-orang dekatnya. Umar bin Khaththab ra. pernah menyita harta Abu Bakrah ra. Ketika ia protes, “Aku tidak bekerja kepada anda”, Khalifah Umar menjawab, “Benar, tetapi saudaramu menjadi pengurus Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (di Bashrah, Iraq); dan ia meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang.” (Syahid al-Mihrab, hal. 284). Begitu pun Umar pernah menyita dari Abu Sufyan harta pemberian anaknya, Muawiyah, gubernur Syam.

Terhadap koruptor dijatuhkan sanksi tegas yang memberikan efek jera. Korupsi termasuk sanksi ta’zir, bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, menurut batasan syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta,tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman mati. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).
Sebelum semua itu korupsi bisa dicegah oleh keimanan dan ketakwaan. Karena dengan itu orang akan takut melakukan korupsi karena takut azab di akhirat. Allah berfirma:
وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَة
Barangsiapa berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (QS. Ali ‘Imran [3]: 161)

Lebih takut lagi karena ternyata harta ghulul itu tidak bisa dibersihkan dengan bersedekah. Sebab Nabi saw bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ»
Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (bersuci) dan juga tidak menerima shadaqah dari harta ghulul (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad)


Wahai Kaum Muslimin
Jelaslah, korupsi akan bisa dibabat tuntas melalui penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, harapan besar agar negeri ini bersih dari korupsi seharusnya kita wujudkan dengan berjuang sungguh-sungguh untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

[Al-Islam] Edisi 643, 27 Rabiul Awwal 1434 H/8 Pebruari 2013 M