Sabtu, 27 Oktober 2012

Renungan Idul Adha Korbankan “Ismail”-mu

(Ketaatan dan Pengorbanan untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah)

[Al-Islam 628]

Hari ini kaum muslimin di seluruh dunia menggemakan pujian atas kebesaran Allah Swt. Langit pun bergemuruh dengan suara takbir, tahlil dan tahmid. Sementara itu lebih dari 2 juta saudara kita kaum muslimin lainnya saat ini berada di tanah suci tengah menunaikan ibadah haji.
Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu, secara fitri manusia akan terdorong untuk mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Begitu pula Nabiyullah Ibrahim as. Beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih. ‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)

Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu.

“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai andâdan, pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.

Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.

Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.

Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan, segera mengusirnya.

Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.

Perintah amat berat itu pun disambut Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
“Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.

”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)

Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang terkutuk.

Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan haram.

Semangat tauhid itu sangat kita perlukan agar kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:

 “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).


Wahai Kaum Muslimin
Dalam rangka menyerap teladan diatas sekaligus sebagai renungan di hari Idul Adhha ini, ada beberapa hal pokok yang penting untuk ditegaskan:

Pertama, Kisah hidup Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seluruh prosesi Haji beserta perayaan Idul Adha sesungguhnya telah memberikan kepada kita pelajaran yang sangat berharga tentang cinta, ketaatan dan pengorbanan serta sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menjalani hidup ini sesuai prinsip-prinsip tauhid, yakni keimanan yang penuh kepada Allah SWT.

Dengan tauhid itu, marilah kita tetap teguh memegang ketentuan halal dan haram, dan di saat yang sama tidak mudah terdorong melakukan pelanggaran terhadap syariah-Nya. Bila prinsip ini dilanggar, mungkin saja berbagai macam keinginan dalam hidup kita itu bisa diraih, tapi pasti akan membawa keburukan, dan pasti juga akan menjauhkan kita dari cinta dan ridha Allah SWT.

Kedua, Ketaatan pada Allah SWT yang diwujudkan dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah dalam kehidupan pribadi, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara itulah akan terbentuk masyarakat tauhid dan negara yang berbeda dengan masyarakat dan negara jahiliah. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyyah yang diwajibkan Allah Swt untuk ditegakkan. Dan ingatlah, bahwa hanya dalam Daulah Khilafah sajalah kerahmatan Islam akan terwujud dan keridhaan Allah akan didapatkan.

Ketiga, Salah satu buah dari tauhid adalah ukhuwah atau persaudaraan Islam, yakni persaudaraan universal atas dasar keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tampak dalam berkumpulnya jamaah haji dari seluruh dunia di Tanah Suci tanpa membedakan ras, suku bangsa, bahasa dan pangkat derajat. Semua hadir di sana atas dasar, motif, dan dorongan yang sama, juga melakukan manasik haji dengan cara yang sama. Tapi sayang, persaudaraan universal itu berhenti hanya sebatas di Tanah Suci. Usai haji, kembali umat Islam terpecah belah ke dalam lebih dari 50 negara. Persaudaran itu tidak tampak lagi. Umat Islam yang berjumlah lebih dari 1,5 miliar itu tetap lemah, tidak memiliki kekuatan sehingga mudah dirusak oleh musuh-musuh Islam. Di sinilah pentingnya perjuangan untuk tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah harus terus digelorakan, karena hanya khilafah sajalah yang mampu menyatukan kembali umat Islam sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.

Keempat, Perjuangan bagi tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan. Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa mendatang.

Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di tengah kehidupan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

hizbut-tahrir.or.id

Hukum Sholat Jumat Bersamaaan Dengan Sholat Idul Adha atau Idul Fitri

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Adha  1433 H sekarang juga jatuh pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.

Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.

Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.

Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.



2.Pendapat Yang Rajih

Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.


2.1. Keterangan Hukum Pertama

Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :

صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.

Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.

Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?

Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)


2.2.Keterangan Hukum Kedua

Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).

Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.


2.3.Keterangan Hukum Ketiga

Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.

Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.


2.4. Keterangan Hukum Keempat

Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.

Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.



3.Meninjau Pendapat Lain

3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.

Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :  “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.


3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut :  “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.

Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.

Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.


3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.

Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)


4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :

Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.

Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.

Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.

Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =




*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal

hizbut-tahrir.or.id

Ucapan Selamat Dari Hizbut Tahrir Dalam Moment Idul Adha al-Mubarak


 


Maktab I’lami Pusat Hizbut Tahrir
No : 31/1433 H 10 Dzulhijjah 1433 H/26 Oktober 2012
Keterangan Pers : 

Ucapan Selamat Dari Hizbut Tahrir Dalam Moment Idul Adha al-Mubarak

اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبر،،، لا إله إلا الله،،، اللهُ أكبرُ،،، اللهُ أكبر،
وللهِ الحمد

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga dan para sahabat beliau, serta siapa saja yang loyal kepada beliau… dan kepada siapa saja yang mengikuti beliau dan menyusuri jejak langkah beliau, sehingga ia menjadikan akidah islamiyah sebagai asas pemikirannya dan menjadikan hukum-hukum syara’ sebagai standar bagi perbuatan-perbuatannya dan sumber bagi hukum-hukumnya. Amma ba’du Wahai kaum muslimin di mana saja berada …

Kami di Maktab I’lami Hizbut Tahrir merasa bahagia untuk menyampaikan kepada umat Islam seluruhnya, ucapan selamat dari Amir Hizbut Tahrir, al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah hafizhahullah dengan datangnya hari raya Idul Adha yang penuh berkah ini. Kami juga merasa bahagia untuk menyampaikan ucapan selamat dari syabab dan syabah Hizbut Tahrir, yang mereka siang malam tiada henti, berjuang melawan rezim-rezim diktator, dan berjuang untuk menjulangtinggikan kalimat Allah dengan tegaknya daulah al-Khilafah yang telah disampaikan berita gembiranya oleh hamba Allah dan Rasul-Nya saw.


Selama satu tahun lalu kita bersimpuh memohon kepada Allah yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus makhluk-Nya, agar memuliakan kita dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah. Dan hari-hari ini kita menyaksikan tumbangnya diktator Syam. Revolusi Syam menyaksikan konspirasi siang malam dari negara-negara Barat, terutama Amerika, dan kolusi mereka dengan jagal Damaskus dalam menumpahkan darah yang haram siang dan malam menggunakan semua sarana pembunuhan dan penghancuran yang mereka punya. Hal itu menunjukkan dengan sangat gamblang dan jelas betapa ketakutan para pemimpin barat dan kaki tangan mereka di antara para penguasa kaum muslimin, mereka sangat takut revolusi Syam akan berpuncak dengan tegaknya daulah al-Khilafah.

Sandainya warga kita di Syam tunduk kepada apa yang didektekan oleh Amerika dan antek-anteknya, niscaya mereka bisa memaksakan Karzai lain atau Thanthawi lain yang mengarahkan revolusi sesuai orientasi Amerika… Dan niscaya para penyeru Dewan Amerika yang disebut Dewan Nasional bisa masuk ke istana al-muhajirun sebagai pemegang amanah revolusi Syam, padahal mereka itu hanyalah buatan rezim Turki Amerika… Akan tetapi orang-orang revolusioner Syam pada Jumat terakhir dengan tema “Amerika … tidak akan pernah kebenciannya merasa puas dengan darah kita” telah menyingkap kesadaran mereka terhadap hakikat makar dan konspirasi Amerika.

Kami, jika kami memberi ucapan selamat kepada umat seluruhnya dengan datangnya hari raya Idul Adha yang penuh berkah ini, kami memanfaatkan kesempatan untuk mengingatkan kaum muslimin seluruhnya dan yang utama adalah para pemimpin dan perwira militer serta para pemilik kekuatan dan kemampuan untuk melakukan perubahan, kami mengingatkan mereka semua akan kewajiban syar’iy dalam menolong saudara-saudara mereka dan warga mereka di Syam yang disifati oleh Rasululllah al-Mushthafa sebagai pusat Dar al-Islam…

Kami sampaikan berita gembira kepada warga kami di Syam dengan pertolongan Allah yang telah dijanjikan. Dan hendaklah mereka memurnikan pengorbanan mereka di jalan meraih keridhaan Allah sehingga mereka meraih kesuksesan dengan salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau syahadah. Dan ketika saya sampaikan kepada Anda dan kepada umat Islam, ucapan selamat direktur Maktab I’lami pusat Hizbut Tahrir dan seluruh aktivis di dalamnya, saya bersimpuh menghadap kepada Allah azza wa jalla agar menghadirkan hari raya Id mendatang, dan umat Islam hidup di bawah naungan panji al-‘Uqab dan semoga umat Islam telah bersatu, menang dan mulia dengan izin Allah, dan telah kembali menapaki markas kepemimpinan, dan sesungguhnya Allah Maha Penolong atas hal itu dan Maha Kuasa atasnya.

اللهم يا حي يا قيوم يا حنان يا منان يا من رفع السماوات بغير عمد نراها أكرمْنا بدولة الخلافة وأكرمنا بنصرك المؤزر على أعدائك وعلى سفاح دمشق ومَن ناصره ودعمه وانصر المجاهدين في سبيلك في كل مكان ومكنهم من إعلاء كلمتك ونصرة دينك.

Ya Allah wahai Zat yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus hamba-Nya, wahai Zat yang Maha Kasih lagi Maha Pemberi, Wahai Zat yang meninggikan langit tanpa penyangga yang kami lihat. Muliakanlah kami dengan daulah al-Khilafah. Muliakan kami dengan pertolongan-Mu dengan mengalahkan musuh-musuh-Mu dan mengalahkan jagal Damaskus serta orang-orang yang menolongnya dan mendukungnya. Dan tolonglah mujahidin di jalan-Mu di mana saja dan berilah mereka kemampuan untuk menjulangtinggikan kalimat-Mu dan menolong agama-Mu.

Kami meminta perhatian Anda bahwa siaran khusus terkait hara raya idul Adha ini telah diatur, mulai hari Jumat, hari pertama Idul Adha yang penuh berkah.

وكُلُّ عامٍ وأنْتُمْ بِخَيْرٍ وتَقَبَّلَ اللهُ الطّاعات

Setiap tahun semoga Anda berada dalam kebaikan, dan semoga Allah SWT menerima segala ketaatan kita

والسّلامُ عليكُمْ ورحمةُ اللهِ وبَرَكاتُه
سُبحانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ نَشْهَدُ أنْ لا إِلَهَ إلاّ أَنْتَ نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوبُ إِلَيْك

Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan pujian-Mu kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, kami memohon ampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu Malam Idul Adha yang penuh berkah 1433 H Ustman Bakhasy Direktur Maktab I’lami Pusat  Hizbut Tahrir.

hizbut-tahrir.or.id

Selasa, 09 Oktober 2012

Calon Kesehatan Mendominasi? Mengapa bisa?

23 Nama Balon Rektor UI

DEPOK, KOMPAS.com - Tahap verifikasi bakal calon rektor Universitas Indonesia (UI) akhirnya selesai. Enam nama ditambahkan dalam daftar nama balon rektor UI yang lolos verifikasi pada hari terakhir tahap verifikasi, Senin (10/9/2012).

Akhirnya, setelah melakukan verifikasi terhadap 27 nama yang mendaftarkan diri, sebanyak 23 nama dinyatakan lolos verifikasi oleh Panitia Pemilihan Rektor UI 2012-2017. Berikut ke-23 nama balon rektor UI tersebut. Enam nama terakhir adalah nama-nama balon rektor yang baru saja dinyatakan lolos verifikasi.

1. Ketua Kelompok Studi Mutu Layanan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (FKM UI), Hafizurrachman
2. Guru Besar FKM UI dan mantan Ketua Program Pascasarjana UI, Purnawan Junadi
3. Notaris, PPAT, dan Pejabat Lelang Kotamadya Jakarta Selatan, Franz Astani
4. Guru Besar Fakultas Teknik UI, Rinaldy Dalimi
5. Guru Besar Fakultas Kedokteran UI dan Deputi Menteri Bidang Jaringan Iptek ad interim, Amin Soebandrio
6. Kepala Pengembangan dan Pelayanan Sistem Informasi UI, Riri Fitri Sari
7. Guru Besar Fakultas Hukum UI dan mantan Dekan FH UI, Hikmahanto Juwana
8. Dekan Fakultas Teknik UI, Bambang Sugiarto
9. Mantan Wakil Rektor UI, Darminto
10. Guru Besar FT UI, Johny Wahyuadi M Soedarsono
11. Dokter di RS Pusat Pertamina, Norman Zainal
12. Direktur Direktorat Kemitraan dan Inkubator Bisnis UI dan Guru Besar FKM UI, Wiku Adisasmito
13. Dekan dan Guru Besar Fasilkom UI, T Basaruddin
14. Wakil Rektor UI, M Anis
15. Dekan FKM UI, Bambang Wispriyono
16 Mantan Rektor UI dan Guru Besar FISIP UI, Gumilar Rusliwa Somantri
17. Dekan FISIP UI, Bambang Shergi Laksmono
18. Dosen Fakultas Kedokteran UI, Peni Kistijani Samsuria
19. Rektor International Islamic University Malaysia, Erry Yulian Triblas Adesta
20. Staf Ahli Menteri Keseharan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, Agus Purwadianto
21. Ketua Program Studi Rehabilitasi Medik FK UI, Widjajalaksmi Kusumaningsih
22. Guru Besar Fakultas Teknik UI, Tresna Priyana Soemardi
23. Ahli Peneliti di Kementerian Koperasi dan UKM, Johnny Walker Situmorang

Para balon rektor UI ini diminta untuk segera menuliskan visi, misi, program kerja, dan materi kampanye lainnya di situs resmi pemilihan rektor UI atau melakukan cyber campaign. Panitia sudah membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberikan penilaian dan tanggapan terkait bakal calon rektor UI sampai 21 September mendatang.





Cyber Campaign

Cyber Campaign

Pemilihan Rektor UI periode 2012-2017


Cyber campaign: sarana kampanye melalui Internet yang disediakan oleh Panitia Khusus Pemilihan Rektor sebagai media untuk Bakal Calon Rektor (BCR) mempersuasi dan meyakinkan pemilih (SAU dan MWA) akan visi, misi, dan program-programnya. Kampanye melalui media Internet juga memberi kesempatan kepada BCR untuk memperkenalkan diri dan program kerjanya ke seluruh sivitas UI. Walaupun pemilihan Rektor di UI dilakukan oleh SAU dan MWA, tetapi kampanye melalui media dapat memberikan kesempatan pada sivitas UI untuk berinteraksi dengan peserta pemilihan, termasuk menyalurkan aspirasinya.

 

Tujuan Cyber campaign

  1. Memberikan sarana bagi BCR untuk memperkenalkan, mempersuasi dan meyakinkan SAU dan MWA akan visi, misi, dan program kerjanya.
  2. Memperkenalkan BCR kepada masyarakat, khususnya sivitas akademika UI.
  3. Memberikan sarana bagi BCR untuk menjaring aspirasi sivitas akademika UI.
  4. Memberikan sarana interaksi BCR dengan warga UI
  5. Meningkatkan pengakuan warga UI terhadap hasil pemilihan rektor.
  6. Efisiensi biaya kampanye para bakal calon.
  7. Meningkatkan citra UI sebagai e-university.

 

Kegiatan dalam Cyber Campaign


Cyber Campaign dapat dibagi beberapa kegiatan, yaitu:
  1. Profil BCR dan kampanye satu arah (cyber campaign 1)
  • Halaman Personal BCR (Profil BCR) di website Pilrek. Semua BCR akan diberikan satu halaman dimana mereka dapat memperkenalkan diri, visi, misi, dan program kerjanya kepada pemilih (SAU dan MWA) dan masyarakat.
  • Periode pelaksanaan: 27 Agustus – 21 September 2012
  • Pelaksana:
    • Bakal Calon Rektor: Membuat materi kampanye untuk halaman profil dan kampanye bebas
    • Publik : Menyimak kampanye
  • Media : Website Pemilihan Rektor UI
  • BCR sangat perlu segera melengkapi profil dan kampanye ini. Kurang lengkapnya halaman personal BCR dapat dipersepsikan sebagai ketidaksiapan BCR ataupun sebagai kurang terbukanya BCR terhadap tanggapan masyarakat akan visi / misi dan program kerjanya.
  • Panitia tidak memoderasi apa yang ditulis / ditanggapi oleh BCR.

  1. Diskusi dan Komentar (bagian dari Kampanye Interaktif)
  • Sivitas akademika UI dan masyarakat luas diharapkan memberikan komentar maupun pertanyaan kepada BCR.
  • Periode pelaksanaan: 11 – 20 September 2012
  • Pelaksana:
    • Bakal Calon Rektor: Aktif menanggapi pertanyaan dan tanggapan. BCR wajib menjawab pertanyaan dari Panitia (lihat bagian kampanye bertema). Walaupun BCR tidak diwajibkan untuk menanggapi setiap pertanyaan / tanggapan dari masyarakat, BCR sangat diharapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sebagian besar komentar masyrakat.
    • Panitia: Memonitor dan Moderasi aktifitas kampanye, memberikan wacana untuk dijawab oleh BCR, Menganalisis aspirasi warga UI untuk dijadikan sebagai wacana kampanye. Memoderasi pertanyaan dan  tanggapan dari masyarakat.
    • Publik : Aktif memberikan pertanyaan dan tanggapan melalui website dan social media. Setiap
  • Media : Website Pemilihan Rektor UI, Twitter @pilrekUI, email
  • Komentar dapat diberikan melalui website.
    • Bagi sivitas akademika UI, komentar dapat dikirimkan dengan menggunakan akun sso (yaitu akun UI yang digunakan oleh sivitas academica untuk mengakses semua system di UI, seperti SIPEG dan SIAK NG).  
    • Masyarakat luas juga dapat mendaftar untuk mendapatkan akun, dengan cara: (1) mengisi formulir di website pemilihan rektor; (2) meng-upload scan KTP; (3) meng-upload photo; (4) menunggu maksimal 1 x 24 jam untuk aktifasi dari panitia; (5) notifikasi akan dikirim melalui email.
  • Semua komentar akan dimoderasi oleh panitia. Aturan moderasi:
    • Bahasa yang sopan dan santun.
    • Tidak mengandung unsur SARA.
    • Tidak flaming (memanas-manasi), tidak trolling (keluar dari topik pembicaraan), dan tidak junking (memasang post yang tidak berguna).
    • Panitia memiliki hak untuk mencabut publikasi suatu komentar, jika dirasa tidak pantas
    • Moderasi terhadap komentar / pertanyaan masyarakat akan diberikan antara jam8.00 – 22.00 wib.
    • Tidak ada moderasi terhadap tanggapan dari BCR terhadap komentar ataupun pertanyaan yang diajukan masyarakat (UI dan luar UI).
  • Komentar juga dapat diberikan melalui email tanggapanmasyarakat@ui.ac.id Dengan catatan:
    • Komentar / pertanyaan dapat diarahkan ke semua BCR, atau ke BCR tertentu.
    • Setiap pemberi komentar wajib menuliskan nama lengkap, institusi dan saat ditayangkan di web ingin anonym (ya / tidak).
    • Setelah dimoderasi, komentar / pertanyaan akan ditayangkan di website di halaman  “komentar melalui email”.
    • Semua pertanyaan dan tanggapan akan didokumentasi oleh panitia dan dibuat resumenya.
  • Komentar juga dapat diberikan melalui Twitter@pilrekUI. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat tulisan dengan:
    • menyebutkan @pilrekui.
    • Pertanyaan yang diajukan akan diindeks oleh panitia melalui akun @pilrekUI.
    • Resume dari pertanyaan yang diajukan akan ditayangkan di website dan dilaporkan di laporan akhir cyber campaign.

  1. Penjaringan Aspirasi 
Masyarakat, khususnya civitas UI, dapat menyalurkan aspirasi mereka ke panitia pemilihan rektor melalui media yang telah disediakan (yaitu website, twitter dan email). Aspirasi yang diungkapkan lewat website akan dapat dibaca oleh setiap orang (di halaman “aspirasi”). Panitia akan membuat resume dari aspirasi yang diungkapkan lewat twitter dan email, dan kemudian melayangkan aspirasi tersebut ke website pemilihan rektor.

  1. Kampanye bertema (bagian dari kampanye interaktif). Pada hari-hari tertentu, panitia akan memberikan suatu wacana atau pertanyaan di halaman utama website. Aturan:
    • Tema kampanye ditentukan oleh panitia berdasarkan aspirasi yang masuk, baik melalui email, twitter maupun website.
    • Seluruh BCR  wajib menanggapi wacana tersebut dengan memanfaatkan fasilitas menulis materi kampanye.
    • Tanggapan sudah harus selesai dituliskan di waktu yang ditentukan panitia (misalnya untuk wacana yang dihadirkan pada jam 9.00, jawabannya sudah harus selesai ditulis pada jam 21.00).
    • BCR tidak dapat langsung mempublikasikan tulisannya. Panitia akan mempublikasikan tulisan BCR secara bersamaan. Ketentuan ini dibuat untuk menghindari tuduhan akan kemiripan tanggapan adalah karena BCR tertentu meniru jawaban BCR lain.
    • Tanggapan BCR yang diubah setelah batas waktu akan di-unpublish dan diubah menjadi tidak terjawab.

  1. Info Rahasia. Masyarakat dapat mengadukan salah seorang BCR melalui emailtanggapanmasyarakat@ui.ac.id (dengan menyertakan bukti-bukti dari pengaduan tsb). Panitia akan memverifikasi tuduhan ini. Jika tuduhan terbukti, panita akan melanjutkannya ke SAU dan MWA sebagai organ yang melakukan seleksi di tahap berikutnya.






January 4, 2010

Sejarah Ringkas Universitas Indonesia

Filed under: Lulusan UI — rani @ 4:02 pm
Memasuki  awal tahun 2010 ini, penulis mencoba untuk memuat berbagai tulisan atau hal lainnya yang berkaitan dengan masa lampau tentang UI.  Karena ternyata  generasi sekarang kurang memahami tentang semangat yang menjiwai para pengelola UI masa lampau. Mudah-mudahan dapat menjadi “benang merah” bagi UI di masa sekarang dan masa mendatang.
Sejarah Universitas Indonesia sesungguhnya bermula jauh sebelum tanggal 2 Februari 1950. Sebelum itu telah ada Balai Pendidikan Tinggi R.I. Bahkan masa pendahuluan Universitas Indonesa dapat ditarik lebih jauh lagi ke dalam jaman penjajahan.
Perguruan tinggi lainnya yang mendahului Universitas Indonesia adalah “Universiteit van Indonesie” yang didirikan oleh NICA (Netherlands Indies civil administration) pada tahun 1946. Sampai tahun 1949 “Universiteit van Indonesie” ini tidak saja berpusat di Jakarta tetapi juga meliputi kota-kota lainnya di Surabaya (Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi) dan di Makassar (Fakultas Ekonomi) juga di Bandung dan Bogor ada Fakultas-fakultasnya.
Segera setelah Negara Indonesia diproklamasikan didirikanlah Lembaga Pendidikan yang merupakan gabungan dari “ Universiteit van Indonesie” dengan “ Balai Pendidikan  Tinggi R.I.” Nama yang diberikan kepada Lembaga pendidikan yang baru itu ialah “Universitas Indonesia” yang kita kenal sekarang. Dalam tahun-tahun pertama Universitas Indonesia dibawah pimpinan Ir. R.M. Pandji Soerachman Tjokrohadisoerjo (alm) sebagai Presiden dibantu oleh Profesor W. Z.  Johannes.Pada tahun 1951-1954 pimpinan kemudian diserahkan kepada Prof. Mr.Dr. Soepomo (alm) yang juga menjabat guru besar luar biasa pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan di Jakarta.
Tugas untuk menyatukan kedua Lembaga Perguruan Tinggi yang ada sebelumnya sungguh tidak ringan. Kuliah-kuliah yang ada pada mulanya diberikan dalam bahasa Belanda. Tetapi mulai tahun 1951 dikeluarkanlah peraturan Menteri Pendidikan Pengajaran & Kebudayaan yang mengubahnya menjadi bahasa Indonesia. Demikian pula peraturan-peraturan lain berangsur-angsur diambil oleh Pimpinan Universitas Indonesia sehingga pada tahun 1951 terdapat 10 buah fakultas-fakultas yang letaknya tersebar di kota-kota Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan Makassar (Ujung Pandang).
Fakultas-fakultas di Jakarta adalah gabungan dari Fakultas-fakultas Balai Perguruan Tinggi (Fakultas Kedokteran, Hukum, Sastera) dengan fakultas-fakultas dari “Universiteit van Indonesie” (Fakultas Kedokteran, Hukum, Sastera dan Ekonomi). Sedangkan Fakultas-fakultas di tempat lainnya (Bandung, Bogor, Surabaya, Makassar) adalah lanjutan dari “Universiteit van Indonesie”.
Prof.Mr.Dr. Soepomo dalam pidato Dies Natalis Universitas Indonesia yang keempat pada tahun 1953 menggambarkan bagaimana dimulianya usaha meng “Indonesiasi”, sebagai langkah pertama dalam mengembangkan Universitas Indonesia. “Indonesiasi”, ini pertama-tama menyangkut kurikulum dan staf pengajar. Bahwa Universitas Indonesia mempunyai cita-cita untuk menjadikan dirinya suatu Lembaga Perguruan Tinggi yang berguna bagi pembangunan masyarakat dan Negara Indonesia Nampak dalam usaha “Indonesiasi” ini. Istilah yang dipergunakan ialah otonomi Universitas yang meliputi kerochanian dan otonomi materiel. Otonomi Universitas dari ideelnya mempunyai arti kebebasan berbicara, berpikir dan melakukan penelitian.
Pada tahun 1954 Fakultas Kedokteran cabang Surabaya serta Lembaga Kedokteran Giginya dipisahkan dari Universitas Indonesia untuk menjadi bagian dari Universitas Airlangga yang pada tahun itu berdiri di sana. Demikian pula pada tahun 1955 Fakultas Ekonomi cabang Makasaar serta Fakultas Hukum yang sementara itu telah dibuka di sana, dipisahkan pula untuk menjadi Universitas Hasanuddin. Dengan demikian sejak itu Universitas Indonesia hanya tersebar di tiga kota yakni Jakarta, Bogor, dan Bandung. Masa itu dikenal dengan sebutan “Masa Tiga Kota ”dari tahun 1955 -1959”.
Pada tahun 1959 menyusul Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Bandung menggabungkan diri dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang didirikan di sana. Walaupun sampai tahun 1960 Universitas Indonesia masih mempunyai Akademi Pendidikan Jasmani di Bandung, tetapi dapat dikatakan bahwa sejak berdirinya ITB, maka pada tahun 1959 sampai tahun 1963 Universitas Indonesia hanya meliputi Lembaga-lembaga Pendidikan yang sebagian terbesar terdapat pada kota-kota Jakarta dan Bogor. Karenanya periode ini dikenal dengan nama “Masa Dua kota”.
Pada permulaan “masa dua kota” ini (1958-1962) Universitas Indonesia dipimpin oleh Ketua Presidium Profesor Dr. Sudjono Djuned Pusponegoro, dan anggota-anggotanya, masing-masing Profesor Djoko Sutono, SH dan Profesor Tan Tjoe Siem SH. Sebelumnya Universitas Indonesia dipimpin oleh Profesor Bahder Djohan gelar Marah Besar sebagai Presiden yang ketiga. Tahun 1962 nama jabatan Presidium diubah menjadi Rektor. Berhubung Profesor Sudjono Djuned Pusponegoro diangkat menjadi Menteri maka jabatan Rektor digantikan oleh Let. Kol. TNI dr. Sjarif Thayeb (sekarang Let. Jen) dengan pembantu-pembantunya Prof.Dr. Slamet Iman Santoso sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademi, Profesor Umar Seno Adji, SH selaku Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan  dan Profesor Dr. Ir. Moh. Sadli selaku Pembantu Rektor bidang Administrasi dan Keuangan bertugas keluar negeri maka masing-masing digantikan oleh Profesor M. Djoewari (alm) dan Drs. Teuku Umar Ali. Sedangkan sekretaris Senat Universitas dipegang oleh Profesor. Dr. Mr. Soekantosampai beliau meninggal pada tahun 1961. Dalam jabatan itu beliau berturut-turut digantikan oleh Profesor Hendarmin Sastrosupeno (alm) dan Profesor. Dr. slamet Iman Santoso.
Sejak tanggal 11 Februari 1964 kampus Universitas Indonesia hanya terdapat di Jakarta saja, setelah pada tanggal itu “Institut Pertanian Bogor” (IPB) dipisahkan dari Universitas Indonesia. Mengingat sejarah dan peranannya maka tidaklah mengherankan apabila Universitas Indonesia menjadi Universitas Utama di Jakarta.
Dalam masa itu Universitas Indonesia hanya mempunyai 7 buah fakultas yang kemudian diperluas menjadi 10 fakultas guna menampung hasrat para muda-mudi Indonesia untuk memperoleh keahlian dan pengetahuan yang sangat diperlukan bagi pembangunan.
Fakultas-fakultas yang berada di lingkuangan Universitas Indonesia hingga kini adalah:
1.      Fakultas Kedokteran
2.      Fakultas Kedokteran Gigi
3.      Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam
4.      Fakultas Teknik
5.      Fakultas Hukum
6.      Fakultas Ekonomi
7.      Fakultas Sastra
8.      Fakultas psikologi
9.      Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
10. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Sedangkan Rektor-rektor yang pernah memimpin Universitas Indonesia yakni:
1.      Prof.Ir.R.M. Pandji Soerahman (1950-1951)
2.      Prof.Mr.Dr. Soepomo (1951-1953)
3.      Prof.Bahder Djohan (1954-1958)
4.      Prof.Dr. Sudjono Djuned Pusponegoro (1958-1952)
5.      Let. Jen. Dr. Sjarif Thayeb
6.      Prof.Dr.Ir. Soemantri Brodjonegoro (1964-1968) dan (1968-1973)
7.      Prof.Dr. Mahar Mardjono (1973-1978)
(sumber: Buku Sarjana Universitas Indonesia 1950-1975 terbitan HUMAS UI 1976)
sumber: http://staff.blog.ui.ac.id/rani/2010/01/04/sejarah-ringkas-universitas-indonesia/


Bungkamnya BEM-BEM UI: Tak Peduli, Pengecut atau Dikadali?

Ade Armando (29 januari 2012)
Salah satu hal yang nampak nyata dalam kisruh UI yang berlangsung saat ini adalah bungkamnya sebagian besar Badan Eksekutif Mahasiswa UI.
Memang masih ada setidaknya tiga BEM yang secara konsisten menggugat korupsi dan kebobrokan Ui di bawah Rektor Gumilar Somantri: BEM Fakultas Ilmu Komputer, BEM Fakultas Ekonomi dan BEM Fakultas Kedokteran. Namun yang lainnya, bungkam seribu bahasa. Di kampus UI Salemba setidaknya sampai kemarin (28 Januari 2012) terpampang spanduk dan poster dari tiga BEM itu yang berisikan tuntutan agar ada pengusutan tuntas atas korupsi di UI.
Tapi hanya itu. Hanya 3 BEM.
Ini menyedihkan karena kebusukan Rektor UI sebenarnya terpampang jelas. BPK sudah menyatakan gara-gara kelakuan Rektor yang semena-mena dalam hal pembangunan Rumah Sakit dan melego asrama mahasiswa Pegangsaan Timur, negara dirugikan Rp 45 miliar. KPK sudah melakukan penyidikan atas dugaan korupsi. Indonesian Corruption Watch sudah melapor ke Komisi Informasi Publik tentang ketertutupan Rektor untuk mengungkapkan informasi public mengenai pengelolaan keuangan UI.
Kelakuan buruk Rektor dan razim yang dipimpinnya bukan cuma itu. Dari soal bagaimana mereka menyunat dan membungakan miliaran rupiah uang penelitian, beasiswa, sponsor kegiatan untuk keperluan yang tak dipertanggungjawabkan; pembangunan perpustakaan Rp 120 miliar yang sekarang saja sudah bocor, rompal-rompal dan banyak sarana di dalamnya rusak; pembiayaan makanan anjing dan pembiayaan perkawinan adik Gumilar yang turut ditanggung UI dan rekanan UI; upah pekerja kebersihan yang cuma Rp 500 ribu per bulan; penyuapan media; sampai terbengkalainya pembangunan gedung Art and Cultural Center — adalah rangkaian bukti keburukan kepemimpinan sang Rektor yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat indoensia.
Tapi kenapa para mahasiswa diam? Sebagian aktivis BEM menyatakan mereka tak mau gegabah terlibat dalam apa yang mereka gambarkan sebagai ‘konflik elit’. Tapi, setelah itu mereka pun cuma diam. Maksud saya, kalau mereka tak mau begitu saja percaya dengan informasi-informasi yang mungkin berseliweran, ya lakukanlah investigasi. Datanya tersedia banyak. Tapi saya rasa pernyataan itu sebenarnya sekadar alasan yang dicari-cari agar mereka tetap nampak bertanggungjawab. Mereka diam karena mereka memang tak ingin menegakkan kebenaran.
Saya rasa ada setidaknya tiga penjelasan terhadap kebungkaman BEM ini. Pertama, soal ketiadaan integritas dan komitmen pada kebenaran. Kedua, pengecut. Ketiga, manipulasi agama.
Yang pertama terjadi karena memang di kalangan pimpinan BEM sudah tidak laku pandangan bahwa sebagai warga UI mereka seharusnya menempatkan kepentingan public di atas segalanya. Para aktivis BEM sekarang mungkin memandang BEM tak lebih daripada sekadar OSIS. Mereka memandang BEM sebagai wadah mencari popularitas dan karena itu berorientasi pada kegiatan hura-hura. Mereka sama sekali tak peduli bahwa di lingkungan mereka, mereka setiap hari bertemu dengan para pekerja kebersihan yang digaji Rp 500 ribu per bulan. Mereka sama sekali tak peduli dengan isu korupsi dan keadilan social karena memang tidak peduli saja.
Tambahan lagi, Gumilar memang pintar menyenangkan hati para borjuis muda ini. Gumilar menyediakan segala fasilitas mewah dan nyaman yang memanjakan: dari Starbucks, 100 buah Mac, Gold Gym, danau indah, klub olahraga berkuda, klub Cricket, atau fasilitas Cinema (belum jadi sih, tapi sudah ada lokasinya). Bahkan Gumilar dengan murah hati menawarkan bea siswa ke Jepang untuk para ketua BEM. Jadi, buat para Ketua OSIS ini memang apa gunanya juga bersikap kritis?
Kedua, pengecut. Jangan bayangkan pimpinan BEM sekarang adalah tipe-tipe orang-orang pemberani untuk menegakkan kebenaran. Ketika gerakan Save UI dimulai pada September 2011, seorang Ketua BEM menghampiri saya untuk meminta bantaun agar kami di save UI dapat melindungi dia saat berhadapan dengan Dekannya. Kami tentu saja dengan senang hati akan membantu dia kalau dia mengalami masalah dengan Dekannya akibat keterlibatan dia dalam gerakan menggugat rektor. Tapi fakta bahwa dia harus memohon bantuan semacam itu nampaknya mencerminkan berapa kecil nyali dia. Sebagai catatan, belakangan sang Ketua BEM ini jadinya memang tak lagi terlibat dalam gerakan menggugat korupsi di UI. Dari tampangnya, sejak awal saya tahu dia memang penakut.
Ketiga, dan ini yang paling serius, adanya manipulasi agama oleh kubu rektor.
Untuk itu,saya perlu menjelaskan sedikit tentang konstalasi politik mahasiswa UI, setidaknya dari apa yang saya pelajari dari sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam gerakan kemahasiswaan.
Sejak bangkitnya Islam politik di Indonesia pada 1990an – dengan ICMI, Habibie dan sebagainya – di kampus juga terjadi konsolidasi komunitas-komunitas mahasiswa muslim. Orientasi utama mereka bukanlah politik.
Mereka lebih memandang diri sebagai gerakan dakwah yang berusaha mewujudkan kehidupan kampus yang Islami. Tapi mereka sadar bahwa untuk mencapai tujuan itu, mereka harus menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan yang ada. Dengan kata lain, untuk berdakwah mereka berpolitik.
Komunitas-komunitas muslim ini terus merapatkan diri sehingga sekarang pada dasarnya BEM-BEM di UI dikuasai kelompok-kelompok muslim yang kerap dipanggil dengan sebutan kaum ‘’tarbiyah’. Disebut begitu, karena ‘tarbiyah’ pada dasarnya berarti proses pembimbingan dan pengembangan.
Jadi, gerakan besar Islam ini pada dasarnya berintikan pengajian-pengajian di tingkat musholla-musholla kampus. Dalam kelompok-kelompok pengajian itu berlangsung pembinaan dan bimbingan yang dilakukan para senior kepada para yuniornya.
Kemenangan demi kemenangan di berbagai BEM bisa dicapai antara lain karena kekompakan komunitas-komunitas tarbiyah tersebut. Mereka memiliki kesadaran politik tinggi yang antara lain ditandai dengan tingginya tingkat partisipasi mereka dalam pemilihan-pemilihan BEM. Jadi, sementara kubu lain harus banting-tulang mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi, kaum Tarbiyah dengan jaringan sosialnya yang solid dengan mudah memobilisasi pemilih.
Kelompok-kelompok ini aktif merekrut jemaah sejak tahun pertama para mahasiswa baru masuk ke UI. Perekrutan biasanya berlangsung melalui sel-sel di pusat kegiatan keislaman, seperti musholla. Setiap sel yang terdiri dari sejumlah mahasiswa dipimpin mentor. Tentu saja yang dibina bukan cuma soal ibadah-ibadah ritual, melainkan juga keimanan, ketaqwaan dan komitmen ideologis mereka. Bahkan perjodohan pun berlangsung dalam komunitas-komunitas tersebut.
Komunitas-komunitas di berbagai fakultas ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka memiliki kesadaran kolektif sebagai kesatuan. Pada dasarnya ada struktur hierarkis di mana jemaah mengikuti tuntunan dan perintah imam. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya saat ini ada semacam pemerintah bayangan di UI, di luar struktur resmi organisasi-organisasi kemahasiswaan. Jadi, di puncak ada yang seorang imam beserta semacam Majelis Syuro yang membicarakan masalah-masalah UI atau membuat grand strategy untuk menguasai UI.
Keputusan untuk mengajukan nama sebagai kandidat BEM pun ditentukan oleh Majelis dan Imam ini. Jadi tidak boleh ada nama kandidat dari kelompok Islam yang tidak direstui. Kalau tidak direstui artinya akan menghadapi tantangan bahwa mereka tidak akan didukung oleh suara besar.
Harap dicatat, komunitas besar ini tidak dicirikan dengan keinginan mendirikan Negara Islam, seperti Hizbut Tahrir atau NII. Mereka tidak radikal. Mereka pada dasarnya gerakan damai yang berobsesi mempersatukan para pemuda-pemuda muslim terbaik untuk membangun sebuah negara yang lebih Islami. Ciri-ciri aktivis tarbiyah ini adalah tidak merokok, tidak berpacaran, berjilbab (yang perempuan), rajin sholat, mengaji, music yang digemarinya nasyid, puritan. Mereka tidak memusuhi non-muslim. Mereka tidak eksklusif. Mereka cukup terbuka.
Dan jaringan inilah yang dimanfaatkan Gumilar dan kawan-kawan.
Kata dimanfaatkan adalah kata yang rasanya tepat karena Gumilar pada dasarnya, saya percaya, tak pernah memiliki karakter khas seorang aktivis muslim. Bahkan dapat dikatakan karakter Gumilar adalah bertolakbelakang dengan karakter kaum tarbiyah. Sejak mahasiswa Gumilar tak pernah dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan (nilai-nilai) Islam. Ia menanjak kariernya berkat kedekatan dengan Dr. Manasse Malo, mantan Dekan FISIP yang memiliki agenda Kristen sangat kental. Kemudian ia dekat dengan — dan bahkan disebut menghamba pada — Mochtar Riyadi, pengusaha terkenal yang juga sangat kental agenda Kristennya.
Di luar itu, Gumilar memilihara sembilan anjing. Kecenderungan klenik dan mistis Gumilar semakin memperkuat gambaran dia sebagai ‘nggak Tarbiyah banget’.
Namun Gumilar adalah politisi lihai. Ia menghimpun dan didukung orang-orang yang membawa agenda Islam politik. Sentimen keislaman sudah dibangun Gumilar sejak menjadi Dekan. Dalam kampanye Dekan, Gumilar sudah menggunakan isu agama, antara lain dengan menyatakan bahwa FISIP ada di bawah ancaman Kristen. Saya mengalami langsung didekati para pendukungnya yang meniupkan isu bahaya Kristen dalam rangka membujuk saya untuk mendukung Gumilar.
Di Fakultas itu pun, Gumilar sudah mengajak Kamarudin (sekarang Dr. Kamarudin), lulusan Departemen Ilmu Politik untuk menjadi Manager Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni FISIP UI (2002-2007). Ketika menjadi Rektor, Gumilar menempatkan Kamarudin sebagai Direktur Kemahasiswaan UI.
Dalam kaitan dengan gerakan tarbiyah, Kamarudin menempati peran penting. Ia adalah mantan Ketua Senat FISIP sekitar tahun 1995. Satu fakta penting adalah bahwa dia datang dari satu generasi bersama-sama Fahri Hamzah, anggota DPR dari PKS yang dulu merupakan Ketua Forum Studi Islam FE. Mereka saling mendukung. Selain itu ada pula aktivis-aktivis kampus yang sekarang menjadi anggota PKS: Rama Pratama, Dzulkiflimansyah, dan Slamet Nurdin. Di antara mereka berlima, hanya Kamarudin yang menetap di kampus.
Namun justru karena bertahan di kampus itulah, Kamarudin menempati posisi penting. Dalam lingkungan Tarbiyah, Kamarudin berstatus ‘Aktivis Dakwah Kampus Permanen’ (ADKP) – jadi semacam tokoh politik yang karena posisinya dalam lembaga structural tingka tertinggi akan mampu mengarahkan agar UI menjadi kampus Islami.
Di bawah Gumilar, Kamarudin selalu diserahkan tugas pada pos kemahasiswaan untuk mengendalikan mahasiswa. Di fakultas-fakultas yang dipimpin para Dekan pro-Gumilar, sang Rektor juga biasa menempatkan aktivis dakwah sebagai Ketua Mahalum (Mahasiswa dan Alumni).
Menurut sumber, kekuatan Tarbiyah UI paling kuat di Fakultas MIPA. Kantin di FMIPA dinamakan DALLAS yang secara seloroh dibilang merupakan kependekan dari ‘Di bawah lindungan Allah SWT’.
Hubungan Gumilar-Kamarudin dan BEM-BEM Tarbiyah ini sebenarnya sempat memburuk pada sekitar 2008 ketika BEM-BEM diserahkan kepercayaan untuk membuat skema Biaya Opersional Pendidikan Berkeadilan, yang dimaksudkan sebagai skema untuk meringankan SPP mahasiswa. BEM-BEM ini sudah dengan sangat baik membuat skema BOPB yang memang berpihak pada rakyat. Nyatanya skema/matriks itu diubah-ubah oleh rektorat, sehingga tujuan awalnya tidak tercapai. Gara-gara manipulasi BOPB ini sempat tumbuh gerakan mengecam Gumilar pada 2009, yang sempat memunculkan rencana pembekuan BEM oleh Rektor. Tapi saat itu, ketegangan diselesaikan dengan cara Gumilar membatalkan rencana itu seraya menyalahkan Kamarudin.
Toh, ketegangan tidak berlangsung lama. Gumilar kemudian melakukan langkah-langkah yang menyenangkan hati kaum tarbiyah dengan berbagai cara. Misalnya saja dengan mendirikan masjid megah dengan dana Saudi di Salemba. Keputusan memberikan gelar Honoris causa kepada sang Raja Saudi, antara lain dengan alasan peran sang Raja dalam membelaPalestina, juga sejalan dengan itu.
Atau dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi aktivitas keislaman. Misalnya saat ada larangan bagi organisasi-organiasi intra universitas dan fakultas untuk membuat acara di luar kampus, seperti malam pelantikan mahasiswa baru di luar kota, Kamarudin ternyata mengizinkan organisasi Islam untuk menyelenggarakan acara di luar kota.
Di masa penerimaan Mahasiswa Baru, Rektorat juga sudah dua tahun menyelenggarakan semacam kegiatan membangkitkan motivasi secara spiritual (SQ) oleh motivator sekaligus pendakwah.
Kerana manipulasi citra inilah, Rektor kemudian dapat menjinakkan BEM-BEM d luar BEM Fasilkom, BEM FE dan BEM FK. Para punakawan Gumilar dengan licik membangun kesan bahwa serangan terhadap Gumilar adalah persekongkolan jahat antara kaum liberal-sekuler dan Kristen. Kebetulan memang yang menjadi ikon saat Save UI dan Pelita UI mulai menggugat Gumilar adalah Emil Salim yang digambarkan sebagai bagian dari ‘mafia Berkeley’. Dengan demikian, mereka membangun kesan bahwa Gumilar sebenarnya hanya menjadi korban fitnah kalangan yang anti-Islam.
Sejauh ini manuver Gumilar dalam memberangus mahasiswa nampaknya sangat berhasil. Sejumlah aktivis mengakui bahwa saat ini ada instruksi dari Imam (entah siapa) dan Majelis Syuro’ bahwa BEM-BEM jangan bergerak — Mendukung Save UI tidak, Mendukung Rektor tidak perlu. Mungkin mereka juga tidak sepenuhnya percaya bahwa Gumilar bersih. Tapi mereka juga tidak ingin rezim yang menguntungkan mereka sampai goyah.
Buat saya, ini menyedihkan. Kalau BEM-BEM itu memang percaya bahwa mereka seharusnya menjalankan ajaran Islam, bukankah menjadi kewajiban mereka untuk menegakkan kebenaran? Menjadi muslim yang baik, bukanlah sekadar menjalankan sholat 5 waktu, berpuasa Senin-Kamis, mengaji dan menutup aurat. Menjadi muslim adalah juga bertindak saat di hadapan kita berlangsung kezaliman.
Kalau memang tak mau begitu saja percaya dengan tuduhan teradap rektor, kewajiban mereka adalah mencari tahu kebenaran. Karena bila karena diamnya mereka kezaliman berjalan terus, mereka tentu turut bertanggungjawab.
Namun argument ini memang hanya relevan kalau orang bersedia bersikap netral. Yang nampaknya terjadi, para pimpinan BEM-BEM itu sudah percaya bahwa mereka seharusnya tidak terlibat dalam upaya menggerus Rektor. Karena alasan agama, mereka percaya bahwa sikap yang benar adalah diam, bungkam.
Tentu saja adalah setiap orang untuk menentukan langkah politiknya, Namun bila kebungkaman mereka yang diberi amanah memimpin mahasiswa adalah karena mereka percaya itu adalah tindakan yang Islami, itu tentu luar biasa menyedihkan.
Sumber: http://adearmando.wordpress.com/2012/01/29/bungkamnya-bem-bem-ui-tak-peduli-pengecut-atau-dikadali/